Pada 29 Juli 2025, tersebar video rekaman berdurasi sekitar 29 detik di media sosial. Memperlihatkan seorang siswa di MTs Negeri 1 Ternate histeris saat menyadari ada ulat hidup dalam makanan MBG yang disajikan. Beberapa siswa diketahui sudah terlanjur menyantap makanan tersebut.
Kepala sekolah MTs Negeri 1 Ternate, Sahdi Muhamad Laher menyatakan, kejadian itu sangat menyedihkan. Ia segera menyurati pihak dapur MBG di lingkungan Sabia (Kelurahan Sangaji, Kecamatan Ternate Utara) dan memutuskan untuk menghentikan sementara layanan MBG demi keamanan para siswa.
Laporan soal temuan ulat tersebut menuai reaksi serius dari DPRD Kota Ternate. Menurut anggota Komisi III DPRD, Nurlaela Syarif, kontaminasi semacam itu menunjukkan adanya masalah serius dalam standar kebersihan dan pengawasan dari pihak vendor maupun Badan Gizi. Ia mengkritik bahwa “vendor atau pihak ketiga ini tidak higienis, cuman asal terima proyek makanan saja.”
Keluhan lain datang dari temuan lauk berbelatung yang terjadi di SMK di Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. MBG yang mengandung belatung sebelumnya juga dijumpai pada menu MBG di SMA Negeri 1 Tambakboyo dan SMKN Tambakboyo, Tuban, Jawa Timur.
Menindaklanjuti hal itu, Badan Gizi Nasional (BGN) menyampaikan pihaknya telah membuat surat edaran berupa standar operasional prosedur (SOP) dalam menyajikan makanan di dalam food tray atau wadah makanan untuk menu MBG.
Problem keracunan massal kembali terulang di tempat berbeda pada 22 Juli 2025. Lebih dari 140 siswa SMPN 8 Kupang mengeluh sakit perut, mual, dan sakit kepala usai menyantap menu MBG sehari sebelumnya. Sedangkan kasus kedua terjadi di sejumlah sekolah di Kabupaten Sumba Barat Daya sehari setelahnya.
Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan, laboratorium BPOM di Kupang melakukan penyelidikan tersebut. Masih banyak lagi kasus serupa dari keracunan massal setelah mengonsumsi paket MBG. Ironis juga miris, selama ini MBG selalu digembar-gemborkan sebagai program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran.
Bahkan, Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy menegaskan MBG merupakan inisiatif strategis yang relevan untuk mencapai Trisula Pembangunan Nasional 2029, yaitu pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, serta pengembangan SDM berkualitas.
Program ini sedianya bertujuan untuk mengatasi masalah stunting dan meningkatkan kualitas gizi anak-anak, juga menjadi kebanggaan di hadapan negara lain. Banyaknya persoalan yang mengemuka hingga membahayakan kesehatan anak-anak mengindikasikan bahwa program ini merupakan program populis tanpa perencanaan.
Juga pertimbangan, dan persiapan yang matang dari segala aspek. Kebijakan ini hanya menarik perhatian dan simpati publik dengan imimg-iming ‘makan bergizi gratis’. Namun, faktanya masih jauh dari tujuan awal MBG.
Ini terjadi tidak lain karena kebijakan populis tapi sikap penguasa pragmatis. Tetap abai terhadap persoalan-persoalan di lapangan. Prabowo Subianto mengadopsi kebijakan populis untuk menyentuh hati masyarakat terutama kalangan menengah dan bawah.
Program uggulan populis dari kebijakan pemerintahan prabowi-Gibran yakni Makan Siang Gratis (MBG), Sekolah Rakyat dan Koperasi Merah Putih. Masifnya program-program bantuan pemerintah yang bersifat populis menjadikan Indonesia contoh nyata dari model kapitalisme neo-feodal.
Yaitu model ekonomi-politik ketika dinamika kapitalistis berpadu dengan struktur kekuasaan oligarki. Dalam konteks ini, program MBG menjadi instrumen penyebaran kesadaran palsu. Penyajiannya sebagai kebijakan yang menguntungkan rakyat miskin memperkuat ilusi bahwa kesejahteraan bergantung pada kemurahan hati negara, bukan pada perubahan struktural ekonomi.
Pada saat yang sama, pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar gas atau elpiji–yang menyebabkan peningkatan biaya hidup bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Negara juga memangkas anggaran pendidikan:–langkah yang berpotensi membatasi pengembangan kesadaran kritis di kalangan generasi muda.
Pendidikan publik–yang seharusnya menjadi alat untuk mengatasi ketimpangan, justru dilemahkan. Sementara kondisi ekonomi yang kian rentan dinormalisasi sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Anehnya kebijakan populis ini justru lebih menguntungkan kapitalis.
Pemerintah menyandarkan program negara ini kepada pihak swasta. Semisal menyerahkan MBG kepada pelaku bisnis makanan. Ini sama halnya negara berlepas diri dari tanggung jawabnya sebagai pengurus dan pelayan rakyat. Jika segala sesuatu bersentuhan dengan bisnis, maka materi menjadi segalanya.
Jangan heran, di lapangan akhirnya kualitas makanan tidak terjamin, karena yang dikejar hanya materi. Arah kebijakan ini bukan menghilangkan stunting tapi membahayakan generasi. Konsep ini sangat berbeda dengan sistem Islam.
Penguasa dalam sistem Islam akan melakukan fungsi raa’in, yaitu mengurus dan melayani segala kebutuhan masyarakat dengan amanah. Program-program untuk rakyat akan direncanakan dan dipersiapkan dengan matang, juga diawasi secara menyeluruh.
Negara juga akan mengerahkan SDM profesional yang sesuai dengan tujuan program, semisal makan gratis harus melibatkan pakar gizi dan makanan serta tenaga ahli di bidang kuliner. Hadirnya generasi berkualitas tentu menjadi syarat utama membangun peradaban manusia yang unggul.
Oleh karenanya, negara akan memperhatikan setiap jengkal kebijakan agar generasi terhindar dari problem stunting, gizi buruk, dan gangguan kesehatan lainnya. Negara akan membangun peradaban Islam yang mewujudkan generasi kuat, cerdas, dan berkualitas.
Di antaranya, menjamin dan memenuhi enam kebutuhan dasar setiap individu rakyat, yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Pada aspek sandang, pangan, dan papan–negara harus memberikan kemudahan bagi rakyat dalam mengaksesnya, seperti harga tanah, rumah, dan pangan yang murah.
Negara akan memberikan sanksi tegas bagi siapa saja yang bertransaksi dengan curang, menipu, dan mematok harga. Aspek kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Negara memberikan jaminan tersebut secara gratis tanpa dipungut biaya.
Negara harus menyediakan fasilitas dan sarana yang memadai agar layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan bisa berjalan dengan baik. Sistem pendidikan mesti berbasis Islam untuk membentuk kepribadian peserta didik.
Sistem kesehatan mesti berbasis pelayanan prima, seperti pemeriksaan kesehatan, vaksinasi, pemberian makanan bergizi dan kaya nutrisi kepada balita dan anak-anak. Dalam sistem Islam, setiap individu rakyat berhak mendapatkan makanan bergizi, bukan hanya orang miskin semata.
Negara mempermudah rakyat mendapatkan akses makanan bergizi, seperti harga pangan yang terjangkau dan distribusi pangan yang merata ke seluruh wilayah sehingga tidak terjadi kelangkaan pangan di salah satu wilayah.
Pada masa kenabian, Nabi dan para sahabat sering memberi makan para ahlu shuffah, yaitu kelompok fakir miskin yang tinggal di selasar masjid Nabawi. Kebiasaan baik ini terus berlanjut pada masa sahabat hingga kekhalifahan Utsmaniyah.
Masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab radiyallahu ‘anhu, beliau dikenal sering berjalan malam untuk memastikan tidak ada rakyatnya yang kelaparan. Dalam Tarikh ath-Thabari dan Siyar A’lam an-Nubala karya Adz-Dzahabi, tersebutlah kisah Khalifah Umar membawa makanan untuk seorang ibu yang tidak mampu memberi makan anak-anaknya.
Bahkan, Khalifah Umar menerapkan kebijakan pemberian makanan gratis kepada masyarakat miskin sebagai bentuk tanggung jawab pemimpin kepada rakyatnya. Dalam kitab Tarikh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Abdil Hakam menyebutkan bahwa khalifah mendirikan dapur umum untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun rakyat yang kelaparan di bawah pemerintahannya.
Pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, layanan makan bergizi gratis sudah diterapkan dalam bentuk pendirian imaret (dapur umum) berbasis wakaf yang telah dibangun sejak abad ke-14 sampai abad ke-19. Imaret pertama kali didirikan di Iznik Mekece oleh Sultan Orhan.
Seluruh imaret diminta untuk menyiapkan makanan untuk didistribusikan secara gratis kepada masyarakat dari berbagai latar belakang, seperti pengurus masjid, guru, murid, pelancong, dan penduduk lokal yang membutuhkan.
Ini artinya, kebijakan makan bergizi gratis dalam sistem pemerintahan Islam diberlakukan atas dorongan kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan dan pelayanan terbaik kepada rakyat. Inilah visi dan misi Islam yang sesungguhnya, yakni mengurus dan melayani setiap kebutuhan rakyat dengan persiapan dan perlakuan terbaik.
Mengalokasikan anggaran negara untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Di dalam baitulmal terdapat bagian-bagian yang sesuai dengan jenis hartanya. Bagian fai dan kharaj yang meliputi ganimah, anfal, fai, khumus, kharaj, status tanah, jizyah, dan dharibah (pajak).
Kemudian, kepemilikan umum meliputi minyak, gas bumi, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan, serta aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus, semisal sarana publik seperti rumah sakit, sekolah, jembatan, dll.
Sedekah yang disusun berdasarkan jenis harta zakat, yaitu zakat uang dan perdagangan; zakat pertanian dan buah-buahan; zakat unta, sapi, dan kambing. Dengan mekanisme seperti ini, setiap keluarga dapat menjamin kesejahteraan pangan dan gizi anak-anak mereka.
Negara akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi penanggung nafkah sehingga rakyat tidak perlu pusing memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Negara akan mewujudkan generasi sehat yang kuat fisik dan psikisnya, unggul, serta bertakwa.
***
—
Rima NaserĀ Alumni Unsrat Manado dan saat ini kesibukannya sebagai wirausaha
