Tambang nikel yang dikelola oleh Harita Group di Pulau Obi, Halmahera Selatan, kembali menjadi sorotan tajam setelah investigasi adanya pencemaran air akibat aktivitas pertambangan. Laporan dari Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), secara jelas menunjukkan bahwa Desa Kawasi telah menjadi sasaran pencemaran sistematis sejak 2012.

Sumber air minum yang dekat dengan usaha pertambangan senilai $1 miliar (£800 juta) yang dimiliki oleh Harita Group sudah terkontaminasi dengan kromium heksavalen (Cr6) pada tingkat yang tidak aman, bahkan bisa menjadi penyebab kanker.

Kebocoran itu diketahui internal perusahaan, namun tak ada upaya perbaikan malah terus melanjutkan operasi. Dalam beberapa pernyataan sebelumnya, Harita bahkan membantah bahwa air di Pulau Obi tercemar, meskipun hasil investigasi menunjukkan sebaliknya.

Kejahatan tersembunyi

Nikel, sebagai komoditas strategis bagi Indonesia, menjadi fokus dalam transisi menuju energi bersih, dengan hilirisasi yang diarahkan untuk mendukung pencapaian target nol emisi. Kehadiran nikel juga telah menjadi motor penggerak pertumbuhan sektor pertambangan di berbagai daerah.

Akan tetapi masih banyak eksplorasi nikel yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Meskipun nikel sering disebut sebagai “ramah lingkungan” karena perannya dalam baterai kendaraan listrik, praktik penambangan nikel itu sendiri justru merusak lingkungan.

Penambangan nikel banyak menghasilkan jejak karbon yang besar lantaran masih ketergantungan pada pembangkit listrik tenaga uap dan batu bara, juga memicu deforestasi akibat pembukaan lahan secara liar.

Dilansir dari Antara, aktivitas pertambangan nikel memunculkan dampak serius terhadap ekosistem alam, terutama di kawasan wisata seperti Raja Ampat, Halmahera, dan Pulau Kabaena. Situasi ini memunculkan dilema antara pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan.

Di Maluku Utara, Harita Nickel menjadi pemain penting pengelolaan nikel. Harita beroperasi di Kawasan Industri di Pulau Obi, yang selain memproduksi baja tahan karat, melalui PT Halmahera Persada Lygend menjadi perusahaan pertama di Indonesia pembuat  bahan baku baterai kendaraan listrik.

Sebagai perusahaan yang katanya turut berkomitmen terhadap keberlanjutan, Harita sudah menerapkan berbagai inovasi dalam pengelolaan air, termasuk “panen hujan” dan daur ulang air untuk keperluan internal, melakukan penyiraman rutin area tambang untuk mengendalikan debu dan memasang alat pengendali pencemaran udara di pabrik RKEF, serta melakukan reklamasi dan revegetasi lahan bekas tambang.

Nyatanya tak semudah membalikan telapak tangan. Kejahatan lingkungan justru sedang berlangsung dan bersembunyi dibalik “ramah lingkungan”. Warga Kawasi di Pulau Obi menghirup ‘udara kematian’ setiap hari dari debu batu bara PLTU dari kawasan industri.

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) adalah masalah utama di Kawasi. Kasus diare di daerah itu, yang paling tinggi dari Pulau Obi, yakni sebanyak 220 kasus dari total 520 kasus diare yang tengah mewabah di negeri Saruma.

Hal ini disebabkan pencemaran air akibat aktivitas pertambangan, termasuk limbah sisa produksi dan material tambang yang terbawa ke aliran sungai. Karena ditemukan bakteri ekoli yang sudah kontaminasi.

Meskipun Harita Nickel secara rutin menyelenggarakan Obi Fishing Tournament di Pulau Obi yang bertujuan untuk membuktikan bahwa perairan di sekitar area tambang masih memiliki potensi perikanan yang baik.

Namun dibalik layar, berdasarkan data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menyebutkan hasil risetnya yang berjudul ‘Status Kualitas Air dan Kesehatan Biota Laut Perairan Teluk Weda dan Pulau Obi’. Hasilnya menunjukkan kualitas air perairan terindikasi mengalami pencemaran yang diduga akibat dampak penambangan dan hilirisasi nikel di sana. Bahkan tingkat pencemaran sudah terakumulasi hingga ke biota laut seperti ikan.

Aspek sosial juga tak kalah dirusak. Keberhasilan Harita membangun UMKM mencapai hasil 1,4 miliar per bulan tidak bisa menghapus kejahatan pencaplokan lahan-lahan warga yang diselimuti dengan kekerasan dan intimidasi.

Kasus terbaru, Riski Jouronga, warga Desa Kawasi, harus menghadapi proses hukum gara-gara demonstrasi meminta layanan listrik 24 jam. Ia sedang memperjuangkan lingkungan hidup, menuntut pertanggung jawaban perusahaan, serta mempertahankan kampung dari upaya relokasi paksa yang dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah daerah (betahita.id)

Jerat kapitalisme

Realitas kerusakan lingkungan menunjukan sesungguhnya tidak ada komitmen apa-apa untuk perubahan iklim, baik skala lokal bahkan global. Hasil tambang nikel dri Raja Ampat, Sulawesi serta Pulau Obi, tercemar berdasarkan data lapangan, justru digunakan dalam produksi baterai kendaraan listrik (EV) oleh perusahaan-perusahaan besar dunia seperti Tesla, Toyota, BMW, Mercedes, Volkswagen, hingga Ford dan General Motors.

Tesla sebagai Produsen mobil listrik Amerika Serikat, disebut telah menandatangani kontrak senilai sekitar US$ 5 miliar (setara Rp 74,15 triliun dengan kurs saat ini US 1=Rp 14.831) untuk membeli bahan baterai dari perusahaan pengolahan nikel di luar Morowali, Sulawesi Tengah (tempo.co).

Padahal produksi mobil listrik dipromosikan sebagai simbol masa depan rendah karbon bahkan produsen bersepakat pada keberlanjutan lingkungan. Sektor transportasi menjadi salah satu penyumbang utama emisi gas rumah kaca global, terutama karbon dioksida (CO2), yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil seperti bensin dan solar.

Menurut data International Energy Agency (IEA), sekitar 24% dari total emisi gas rumah kaca global berasal dari sektor transportasi. Oleh karena itu, mengurangi emisi dari sektor ini menjadi langkah penting dalam upaya melawan pemanasan global. Akan tetapi, saat ini mobil listrik penyelamat bumi hanya akan jadi omong kosong. Menuju zero emisi tidak berguna jika lingkungan asal produksi nikel meracuni lingkungan.

Negeri ini sejatinya hanya menjadi primadona bagi kapitalis global. Sederet bukti bahwa keuntungan hilirisasi nikel di RI untuk China. China untung, RI buntung, tidak luput produsen-produsen mobil listrik yang bermain di pasar global. Keuntungan China terlihat dari mengalirnya ekspor barang setengah jadi dari smelter nikel sampai porsi tenaga kerja asal China.

Dalih investasi untuk mewujudkan lingkungan hijau hanyalah kamuflase untuk menutupi penjajahan ekonomi. Negeri ini sedang menjadi objek penjarahan oleh kapitalisme global yang bergaya bak pahlawan penyelamat lingkungan.

Lingkungan ditempatkan berdasarkan keuntungan ekonomi. Maka ketika pada proses produksi nikel memakan banyak modal, itu bisa diabaikan. Berapa banyak perusahaan yang mengabaikan AMDAL. Pada akhirnya, kerakusan ekonomi kapitalisme yang menjadikan dunia mengalami krisis iklim. Anehnya, penguasa negeri ini mau tunduk terhadap permainan penjajah.

Perspektif Islam

Allah SWT dalam Q.S. Ar-Rum : 41 telah memberi peringatan tentang perbuatan manusia yang melakukan kerusakan di atas muka bumi.

Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)“.

Lain halnya dengan kapitalisme, sistem Islam memandang bahwa memelihara lingkungan merupakan bagian dari amanat wahyu. Dititahkan langsung oleh Sang Pengatur alam semesta sehingga menjadi satu poin yang tidak terpisahkan dari representasi keimanan. Allah SWT dalam Q.S. al-A’raf : 56 juga telah memperingati manusia.

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik“.

Penjagaan Islam terhadap lingkungan berarti menjaga umat untuk terus berada pada jalur kehidupan yang seimbang sehingga aktivitas manusia dan pembangunannya tidak berdampak terhadap perubahan iklim yang bisa menyebabkan terjadinya segala bentuk krisis kebutuhan primer di ranah global dan mengancam keberlangsungan hidup umat manusia di seluruh dunia.

Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya rasul kami telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas.” (Q.S. Al-Maidah : 32)

Adapun berkaitan dengan penambangan, Islam tidak melarang. Hanya saja Islam telah mengaturnya. Barang tambang apapun yang jumlahnya melimpah tidak boleh dikelola oleh individu. Karena pemilikan individu akan menghalangi umat lain dari mendapatkan haknya.

Maka tambang nikel harus dikelola negara. Secara modal, negara lebih akan mampu membiayai produksi daripada individu. Jika hendak menggandeng swasta, ditempatkan sebatas pekerja front-end atau back-end dan diberi upah berdasarkan proses penambangan yang dikerjakan, bukan sebagai pemilik.

Allah SWT telah menundukkan alam untuk keperluan manusia. Walau demikian Islam memberikan seperangkat aturan agar manusia mendapat kemaslahatan dan tidak menyebabkan kerusakan. Begitulah penerapan Islam akan menjamin industri penambangan dapat terus berjalan.

***

Penulis: Suharyati ialah pegiat lingkungan
Haerudin Muhammad
Editor