Radarmalut.com – Sengketa lahan seluas 1.125 hektare antara warga dan TNI AU di Pulau Morotai, Maluku Utara, belum menemui titik terang. Pengklaiman sepihak atas wilayah tersebut usai Perang Dunia ke-II tahun 1944, meski sudah beberapa kali mediasi namun warga masih dihantui ketidakpastian status tanah.
Pada kunjungan pengawasan anggota Komite II DPD RI Graal Taliawo, Rabu (8/10/2025) malam di Balai Desa Gotalamo. Di hadapan legislator itu, Tokoh masyarakat dan juga mantan anggota DPRD Morotai, Ajudin Tanimbar membeberkan, sejarah panjang soal lahan yang kini diklaim sebagai aset milik TNI AU.
Ia mengatakan, kawasan yang saat ini menjadi lokasi Bandar Udara Pitu tepatnya di ujung Desa Wawama, Kecamatan Morotai Selatan, awalnya merupakan perkampungan warga yang sudah ada sejak tahun 1825.
“Tahun 1944 saat Perang Dunia ke-II, tentara sekutu mengusir kami dari perkampungan. Kami kemudian pindah ke wilayah yang sekarang menjadi tempat bermukim,” jelasnya.
Ajudin mengemukakan, setelah masa perang berakhir, muncul persoalan baru pada 1984. Ketika pihak TNI AU datang dan melakukan pengukuran lahan tanpa seizin warga dan setahun kemudian memasang patok batas serta menyatakan kawasan tersebut sebagai aset milik negara.
“Usai tentara sekutu pergi, datanglah TNI AU di bawah komando mereka saat itu. Dengan berseragam lengkap dan membawa senjata, mereka turun mengukur kebun rakyat tanpa izin,” katanya.
Alhasilnya, warga kini hanya bisa menempati area terbatas dan bahkan aktivitas berkebun pun sering mendapat pembatasan dari pihak TNI-AU. Meski demikian, Ajudin mengatakan, masyarakat tidak menolak apabila lahan digunakan untuk kepentingan pertahanan negara.
“Warga berharap ada kejelasan hukum agar hak mereka tidak terus terabaikan. Kalau memang itu dipakai untuk pertahanan negara, kami siap mendukung. Tapi bagi rakyat, tanah adalah satu hal yang paling permanen untuk merakit hidup,” tuturnya.
Ajudin juga menyoroti dugaan praktik komersialisasi di atas lahan yang diklaim TNI AU. Menurutnya, kini sebagian lahan tersebut justru disewakan kepada pedagang kaki lima. “Sekarang TNI AU memberikan kontrak kepada pedagang lalu memungut pajak. Padahal itu lahan rakyat,” ungkapnya.
Sejumlah lahan yang telah dibeli pemerintah daerah untuk pembangunan fasilitas publik juga tidak dapat digunakan karena masih diklaim. Ajudin berharap DPD RI dapat menyampaikan aspirasi masyarakat Morotai kepada pemerintah pusat dan kementerian terkait agar persoalan ini segera menemukan kejelasan hukum.
“Kami hanya minta satu kepastian hukum apakah lahan itu milik TNI AU atau milik rakyat. Supaya tidak lagi terjadi konflik di masa mendatang,” pungkasnya.
Sebagai informasi, luas total lahan 1.125 hektare itu, 500 hektarenya sudah bersertifikat atas nama TNI AU dan sisanya sampai sekarang masih dalam sengketa.
***
