Radarmalut.com – Tim Kuasa Hukum Cecillya alias Sisil tepis tuduhan pihak Randy Husain yang menyebut laporan mereka di Ditreskrimsus Polda Maluku Utara salah alamat dan menyarankan membaca kembali Undang-undang pencemaran nama baik. Saling lapor tersebut usai adanya live di TikTok pada akhir bulan kemarin.
“Perlu kami tegaskan, perkara ini tidak berdiri hanya live TikTok. Justru terdapat rangkaian peristiwa yang lebih luas, termasuk dugaan penyebaran konten hasil rekaman, ancaman melalui pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal hingga keterlibatan akun fake,” kata Zulfikran Bailussy, Sabtu (14/6/2025).
Zulfikran menjelaskan, pihaknya sejak awal menggunakan frasa diduga dalam laporan melibatkan lebih dari satu individu. Menurutnya, Penasihat Hukum Randy mungkin gagal paham dalam membaca apa yang sudah disampaikan dan dimuat oleh sejumlah media.
“Kami tidak pernah menyebut Randy sebagai pelaku utama. Ada pula kerabatnya yang kami laporkan. Jadi, jika Penasihat Hukum Randy, saudara Bahtiar Husni menyebut kami asal menuduh, maka kami khawatir yang bersangkutan gagal paham membaca substansi laporan kami,” cecarnya.
Zulfikran mengemukakan Pasal-pasal yang digunakan dalam laporan ke Ditreskrimsus Polda Maluku Utara berdasarkan konstruksi awal dari bukti-bukti, di antaranya Pasal 29 UU ITE terkait dugaan ancaman menyebarkan video dari live TikTok, dengan ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara.
Lanjutnya, Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui media elektronik maupun Pasal 32 ayat (1) UU ITE soal manipulasi informasi elektronik tanpa izin yang mengarah pada perubahan isi atau makna.
“Kami sudah melampirkan bukti-bukti, termasuk rekaman live, percakapan WhatsApp, hingga indikasi keterlibatan akun fake yang diduga adalah Randy Husain. Jadi, biarkan penyidik yang menilai apakah unsur-unsur tersebut terpenuhi atau tidak. Itu bukan tugas pengacara untuk memutuskan,” bebernya.
Zulfikran juga menyesalkan pernyataan Bahtiar yang menyebutkan pihak Sisil tidak memahami aturan hukum. Selanjutnya, ada kesan bahwa menyalahkan soal penyampaian di dalam pemberitaan, padahal isi konten berita bukan lagi urusannya setelah diterbitkan oleh perusahaan media.
“Menyuruh kami untuk belajar kembali undang-undang adalah tudingan yang tidak logis. Justru kami sangat paham, tugas penyidik lah untuk mendalami dan menguji setiap unsur delik. Kami sudah menyampaikan narasi secara utuh dalam setiap rilis,” terangnya.
“Kalau kemudian media menulis judul tertentu yang membentuk framing, itu bukan tanggung jawab kami. Jalur yang benar jika merasa dirugikan adalah hak jawab atau koreksi, bukan menjadikan media sebagai tameng untuk menghindari substansi,” tambahnya.
***