Miris! mungkin itu kata yang tepat atas kondisi perpolitikan Halmahera Tengah dewasa ini. Bagaimana tidak, Fagogoru yang merupakan identitas orang Weda, Patani, Maba dipolitisasi oleh segelintir atau sekelompok orang demi ambisi merebut atau mempertahankan kekuasaan.
Mereka-mereka yang secara nyeleneh tanpa teori dan ilmu, mengambil kata fagogoru lalu meneriakkan politik identitas. Kami putra-putri fagogoru. Kami anak kampung. Anak kampung lebih berhak.
Kami yang membangun negeri ini. Dan, masih banyak lagi istilah untuk memperkuat ke-Fagogoruan demi jalan suci politik identitas.
Padahal tanpa disadari, teriakan fagogoru dengan plesetan kami putra-putri Fagogoru. Kami anak kampung dan embel-embel lainnya. Telah mencabik-cabik fagogoru sebagai identitas orang Weda, Patani, Maba.
Sesungguhnya, plesetan tersebut bukanlah politik identitas melainkan politisasi identitas. Dimana identitas satu wilayah, satu negeri atau identitas suku tertentu bahkan identitas agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik merebut atau mempertahankan kekuasaan.
Apa Itu Politik Identitas
Penting untuk diketahui, istilah politik identitas baru muncul di pertengahan dekade 1960-an. Sebelumnya, pada dekade 1950-an istilah ini belum dikenal.
Marie Moran, dalam tulisannya Coen Husain Pontoh di Indoprogress yang berjudul “Rasisme, Politik Identitas dan Masalah Papua: Sebuah Penjelasan menulis sejarah.”
Mengatakan, tidak ada satu pun publikasi akademik, jurnal, media populer, terbitan bisnis dan korporat, pernyataan politik hingga manifesto gerakan yang membahas identitas seksual, etnis, ras, national, politik, konsumen, atau bahkan krisis identitas.
Moran yakin istilah politik identitas seperti yang kita kenal sekarang baru muncul pada pertengahan dekade 1960-an. Sedang yang melatar belakangi istilah politik identitas dikarenakan ada dua momen historis yang menyejarah.
Pertama, dinamika politik dan ideologi didalam gerakan kiri, khususnya Kiri Baru AS pada dekade 1960-an. Dan Kedua, akibat runtuhnya sistem ekonomi Keynesianisme sepanjang 1970-an yang kemudian digantikan dengan sistem kapitalisme neoliberal.
Selanjutnya, Keeanga Yamahtta Taylor dalam How Wet Get Free Black Feminism and The Combahee River Collective, menjelaskan istilah politik identitas pertama kali digunakan oleh kolektif radikal perempuan kulit hitam Combahee River Collective (CRC) yang didirikan pada tahun 1974 di Boston, Amerika Serikat.
Kolektif radikal CRC yang didirikan tersebut adalah sebagai gerakan politik perempuan kulit hitam atas kondisi ekonomi politik kapitalisme dan imperialisme serta patriarki.
Namun, kolektif radikal perempuan kulit hitam atau CRC itu tidak serta merta menentang laki-laki. Akan tetapi, menjadi lelaki sebagai mitra yang kuat demi menghancurkan sistem ekonomi kapitalisme imperialisme melalui politik identitas.
Politisasi Identitasi
Politisasi identitas adalah tindakan politik memanfaatkan politik identitas untuk kepentingan politik tertentu. Biasanya kepentingan itu berpotensi menghasut dan memecah belah anak bangsa.
Ingat, identitas itu given (pemberian) dari Tuhan.
Di Dalam QS. Al-Hujurat Ayat 13
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.”
Sambungya. “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Jadi sebenarnya, mengistilahkan politik identitas dengan polesan putra-putri fagogoru. Anak kampung. Kami lebih berhak. Istilah ini tidak tepat dan salah kaprah. Ini bukanlah politik identitas tapi politisasi identitas.
Memanfaatkan identitas wilayah negeri seperti kata fagogoru dengan maksud merebut kekuasaan. Karena politik identitas sebagaimana saya jelaskan di atas, sejarahnya dan latarbelakang situasi ekonomi dan politik yang melahirkan gerakan politik identitas tersebut.
Inilah mengapa Coen Husain Pontoh mengatakan bahwa politik identitas telah dikooptasi oleh elit politik.
Kembali ke Fagogoru
Kenapa kita harus kembali ke fagogoru? suatu hari di tahun 2014-2015, saya diundang oleh kawan-kawan dari LSM Sajogyo Institut di Yogyakarta. Saya bersama dengan seorang teman hadir di Aula Kantor Penerbit Resist Book.
Di sana ada beberapa orang yang cukup saya kenal, tapi sudah agak lupa nama-nama mereka. Dalam cerita santai kami, saya disodorkan sebuah laporan penelitian yang dilakukan di Halmahera Timur.
Kelak laporan tersebut menjadi buku dengan judul “Orang Halmahera Timur dan Tanahnya” yang diterbitkan oleh Tanah Air Beta. Usai melihat laporan tersebut, peneliti itu mengatakan kepada saya. “Kalian harus kembali kepada fagogoru.”
Sontak saya memandangi wajahnya dan hanyut dalam pembicaraannya, ia pun mengungkapkan “Fagogoru memiliki sejarah panjang. Sejarah yang penuh dengan pergolakan politik dan ekonomi. Fagogoru adalah identitas yang tidak tercerai berai pada masanya.”
Tak puas dengan hasil pertemuan itu, saya mengambil beberapa buku mencoba mencari tahu soal Fagogoru. Sedikitnya dalam buku yang berjudul “Orang-Orang Kalah” penyuntingnya Roem Topatimasang. Dalam buku tersebut terdapat 10 kisah di wilayah Maluku termasuk Halmahera.
Saya menemukan sedikit penjelasan mengenai fagogoru dalam buku tersebut. “Orang Weda, Patani, Maba membangun solidaritas dengan menggagas sebuah lembaga adat atau lembaga persemakmuran negeri-negeri yang disebut Fagogoru.” Mengenai kapan dan pada abad keberapa belum diketahui pasti.
Fagogoru juga disebutkan sebagai suatu wilayah otonom yang menegaskan keberadaan orang-orang dengan rumpun yang sama dan bahasa yang sama.
Secara ekonomi orang-orang di dalam negeri fagogoru membangun keterikatan yang kuat, apabila orang Weda meminta tanaman untuk makanan di kebun orang Patani maka akan diberikan secara cuma-cuma begitu juga sebaliknya dengan orang Patani dan Maba, asalkan bukan tanaman tahunan.
Dalam politik, fagogoru berperan penting mengidentitaskan wilayahnya secara otonom dari berbagai kepentingan di masa itu. Abad 16 adalah abad yang penuh dengan perang dan darah.
Solidaritas orang Fagogoru membuat gentar kepentingan kerajaan serta Belanda, sehingga tak mengherankan wilayah ini berulang kali dikontrol oleh ekspedisi Hongi kerajaan dan kolonialisme.
Secara budaya, fagogoru sebagai lembaga adat atau persemakmuran memiliki tatanan nilai (falsafah) yang masih hidup dalam masyarakatnya saat ini. Dalam keseharian masih pula dipraktikkan, seperti apabila ada pernikahan, orang meninggal, juga membangun rumah. Hubungan ngaku rasai itu masih cukup kental terlihat.
Seiring perjalanan, wilayah fagogoru dalam Buku “Pemberontakan Nuku” yang ditulis Muridan Widjojo dan dalam Buku “Dunia Maluku” karya Leonard Andaya. Menyebutkan negeri fagogoru mengalami Terra Incoqnita atau wilayah yang tak dikenal atau tak lagi memiliki tuan akibat runtuhnya kerajaan Jailolo di tahun 1551.
Secara otomatis, Weda, Patani, Maba dalam lembaga persemakmuran (fagogoru) yang memiliki keterkaitan erat dengan Kerajaan Jailolo menjadi tanah tak bertuan atau wilayah yang diperebutkan oleh Ternate dan Tidore.
Dalam perebutan wilayah, Tidore tampil sebagai penguasa dan lambat laun istilah Gam Raange (Gamrange) menjadi populer. Namun, sejarah panjang fagogoru sebagai identitas orang Weda, Patani, Maba dalam masyarakat modern saat ini mulai bergeser.
Bukan lagi sebagai pernyataan identitas yang harus dibangun. Pernyataan identitas ke-fagogoruan justru dikooptasi demi the personal is political (personal bersifat politik).
Penulis: Firmansyah Usman (Jurnalis dan pecinta Sastra)
Tinggalkan Balasan