Radarmalut.com – Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda mendapat sorotan publik. Bukan karena seremoni, melainkan terobosan yang dianggap sederhana namun berdampak luas, karena dengan cara baru menyerap aspirasi masyarakat yang disebut sebagai ‘belanja masalah’.

Metode ini pertama kali dicoba saat Ramadan 1446 Hijriah lalu. Waktu itu, Sherly ingin mengetahui langsung kondisi jalan dan jembatan di berbagai daerah tanpa harus mengirim tim survei. Ia membuka ruang partisipasi warga melalui formulir daring. Cukup dengan mengunggah data dan foto, masyarakat bisa melaporkan kerusakan infrastruktur di sekitar mereka.

Hasilnya di luar dugaan. Lebih dari 200 laporan masuk dari 10 kabupaten/kota. Data itu kemudian diverifikasi Dinas PUPR Maluku Utara, yang dipimpin oleh Risman Iriyanto Djafar. Dari situ, peta status jalan tersusun. Mulai dari jalan tanpa status, jalan kabupaten, provinsi, hingga jalan nasional, dengan estimasi kebutuhan anggaran perbaikan yang mencapai Rp 8 triliun.

Keberhasilan pola ini membuat Sherly yakin untuk melangkah lebih jauh. Kini, ‘belanja masalah’ diperluas ke isu rumah tidak layak huni (RTLH) dan keterbatasan akses listrik warga. Lewat program Maluku Utara Terang dan RTLH, ia bersama Wakil Gubernur Sarbin Sehe ingin menghadirkan perubahan nyata di tengah masyarakat kurang mampu.

“Lingkungan tempat tinggal sangat memengaruhi produktivitas dan kesehatan. Kalau rumah layak dan terang, anak-anak bisa belajar dengan baik, keluarga lebih sehat, dan hati pun ikut senang,” tutur Sherly dalam unggahan media sosialnya.

Sherly kembali mengajak warga untuk ikut terlibat. Ia meminta masyarakat mendata keluarga atau tetangga yang masih tinggal di rumah tak layak huni, lalu mengunggahnya lewat tautan https://bit.ly/nyalaMU. Cara yang sederhana, gratis, dan cepat, namun diyakini mampu memetakan kebutuhan paling mendasar masyarakat Maluku Utara.

Dengan langkah ini, Gubernur perempuan pertama Maluku Utara itu seolah ingin menegaskan satu hal, bahwa pembangunan tidak selalu dimulai dari meja rapat atau laporan birokrasi, melainkan dari suara warganya sendiri.

***

Haerudin Muhammad
Editor