Radarmalut.com – Diskusi tentang sengketa lahan pada warga di tiga kelurahan dengan Polda Maluku Utara, digagas Pengurus Cabang (PC) PMII Ternate tidak dihadiri dua narasumber. Padahal, kedua pembicara memiliki peran penting dalam kebijakan yang berhubungan tanah seluas 4,5 hektare tersebut.

Tema yang diangkat adalah ‘Urgensi Sengketa Lahan Antara Polda dan Masyarakat: Bagaimana Jalan Keluarnya?‘ bertempat di Caffe Sabeba, Rabu (13/8/2025) malam. Sekda Ternate Rizal Marsaoly dan Kepala BPN Ternate Arman Anwar, tak hadir. Dua narasumber lainnya, yakni Roslan dari Pengamat Hukum dan Perwakilan Warga, Bambang.

Ketua PC PMII Ternate Safrian Sula menjelaskan, ketidakhadiran dua narasumber mengisyaratkan bukan sekadar absen administratif, melainkan indikasi lemahnya keberpihakan dan keberanian institusi terkait untuk berhadapan dengan masyarakat.

“Ini forum akademik dan sosial untuk mencari solusi, bukan ajang saling menyalahkan. Tapi, ketika yang punya kewenangan langsung tidak datang, bagaimana publik bisa mendapatkan kejelasan? Jika pola ini terus berulang, kami akan datang dengan massa yang lebih besar untuk menggeruduk kantor BPN dan Pemkot,” katanya.

Safrin mengatakan, akar masalah bermula dari sertifikat Hak Pakai atas nama Polri yang diterbitkan sejak 1989. Dokumen itu diklaim menjadi dasar kepemilikan lahan oleh Polda Maluku Utara. Namun, di sisi lain, warga telah mendiami, mengelola, bahkan membayar pajak atas lahan selama puluhan tahun.

Sementara, Ketua LBH Ansor Kota Ternate, Zulfikran Bailussy menyebut absennya Sekretarsi Daerah Kota Ternate dan perwakilan BPN merupakan ketidakberpihakan terhadap warga. Sedangkan, kedua pihak ini memegang peranan kunci dalam penyelesaian sengketa.

“Sekda dan BPN seharusnya hadir untuk memberikan penjelasan resmi. Apalagi Sekda pernah menyatakan akan mengambil langkah tukar guling atau ruislag lahan. Pertanyaannya sekarang, apakah itu benar-benar komitmen, atau sekadar wacana yang diucapkan untuk meredam polemik?,” bebernya.

Zulfikran berpendapat jika pemerintah yakin pada upaya tukar guling maka mestinya berani hadir dan menjelaskan kepada publik melalui dialog dan langkah yang diambil harus transparan, rencana ruislag hanya akan menjadi janji kosong yang berpotensi memperkeruh suasana.

LBH Ansor mapun PMII mengingatkan bahwa konflik agraria di kawasan itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Ketidakpastian hukum, apalagi jika diiringi pengabaian kepada suara warga, tentu memicu eskalasi protes.

“Negara punya kewajiban melindungi warganya, jangan membiarkan mereka hidup dalam ketidakpastian hak atas tanah yang telah mereka diami puluhan tahun. Warga Ubo-Ubo, Kayu Merah, dan Bastiong Karance juga memiliki hak yang sama dengan warga lain,” tandasnya.

***

Haerudin Muhammad
Editor