Nakhoda perahu Bugis sudah putus asa, tapi tetua kampung nelayan datang mendekatinya.

“Hanya seorang yang dapat menolong Tuan.”

“Tuan, katakan saja, siapa yang dapat menyeret perahu ke lautan?”

“Seorang anak muda, namun sakti dan penuh wibawa,” jawab tetua kampung.

“Siapa namanya?”

“I Gusti Gede Pasekan!”

Keesokan harinya orang Bugis itu datang kepada I Gusti Gede Pasekan. la berkata, “Kami mengharapkan bantuan Tuan. Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kami, sebagian isi muatan perahu akan kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.”

“Kalau itu memang janji Tuan, saya akan mencoba mengangkat perahu yang kandas itu,” jawab I Gusti Gede Pasekan. Untuk melepaskan perahu besar yang kandas itu, I Gusti Gede Pasekan mengeluarkan dua buah senjata pusaka warisan Kyai Jelantik Bogol.

la memusatkan pikirannya. Tak lama kemudian muncullah dua makhluk halus dari senjata pusaka itu.

“Tuan apa yang harus hamba kerjakan?”

“Bantu aku menyeret perahu yang kandas itu ke laut lepas!”

“Baik Tuan!”

Dengan bantuan dua mahluk halus itu, ia pun berhasil menyeret perahu dengan mudah. Orang lain jelas tak mampu melihat kehadiran si mahluk halus, mereka hanya melihat I Gusti Gede Pasekan menggerak-gerakkan tangannya menunjuk ke arah perahu.

Karena senangnya, orang Bugis itu pun menepati janjinya. Diantara hadiah yang diberikan itu terdapat dua buah gong besar. I Gusti sekarang sudah menjadi orang kaya dan digelari dengan sebutan I Gusti Panji Sakti.

Sejak kejadian itu, kekuasaan I Gusti Panji Sakti, mulai meluas dan menyebar ke mana-mana. la pun mulai mendirikan suatu kerajaan baru di daerah Den Bukit. Kira-kira pada pertengahan abad ke-17 ibu kota kerajaan itu disebut orang dengan nama Sukasada.

Semakin hari kerajaan itu makin luas dan berkembang lalu didirikanlah kerajaan baru. Letaknya agak ke utara dari kota Sukasada. Sebelum dijadikan kota, daerah itu banyak sekali ditumbuhi pohon buleleng.

Oleh karena itu, pusat kerajaan baru itu disebut Buleleng. Buleleng adalah nama pohon yang buahnya sangat digemari oleh burung perkutut. Di pusat kerajaan baru tersebut didirikan istana megah, yang diberi nama Singaraja.

***

Catatan : Artikel ini ditulis ulang dari buku ‘Legenda Gunung Tangkuban  Perahu’ diceritakan kembali oleh Tira Ikranegara yang diterbitkan oleh Mua Jaya Surabaya pada 2008.
Haerudin Muhammad
Editor
Radar Malut
Reporter