Radarmalut.com – Berbeda dengan pemerintah Hindia Belanda yang cenderung anti terhadap umat Islam, Jepang lebih ingin bersahabat dengan umat Islam di Indonesia.
Jepang sangat memerlukan kekuatan umat Islam untuk membantu melawan Sekutu. Oleh karena itu, sebuah organisasi bersama MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang cukup berpengaruh pada masa pemerintah kolonial Belanda, mulai dihidupkan kembali oleh pemerintah pendudukan Jepang.
Pada tanggal 4 September 1942 MIAI diizinkan aktif kembali. Dengan demikian, MIAI diharapkan segera dapat digerakkan sehingga umat Islam di Indonesia dapat dimobilisasi untuk keperluan perang.
Dengan diaktifkannya kembali MIAI, maka menjadi organisasi pergerakan yang cukup penting di zaman pendudukan Jepang. MIAI menjadi tempat bersilaturahim, menjadi wadah tempat berdialog, dan bermusyawarah untuk membahas berbagai hal yang menyangkut kehidupan umat, dan tentu saja bersinggungan dengan perjuangan.
MIAI senantiasa menjadi organisasi pergerakan yang cukup diperhitungkan dalam perjuangan membangun kesatuan dan kesejahteraan umat. Semboyan yang terkenal adalah “berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah dan janganlah berpecah belah”.
Dengan demikian, pada masa pendudukan Jepang, MIAI berkembang baik. Kantor pusatnya semula di Surabaya kemudian pindah ke Jakarta.
Adapun tugas dan tujuan MIAI waktu itu yakni menempatkan umat Islam pada kedudukan yang layak dalam masyarakat Indonesia, mengharmoniskan Islam dengan tuntutan perkembangan zaman, dan ikut membantu Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.
Untuk merealisasikan tujuan dan melaksanakan tugas itu, MIAI membuat program yang lebih menitikberatkan pada program-program yang bersifat sosio-religius. Yang secara khusus akan diwujudkan melalui trencana yaitu;
Pembangunan masjid Agung di Jakarta, mendirikan universitas, serta membentuk baitulmal. Dari program ini yang mendapatkan lampu hijau dari Jepang hanya program yang ketiga.
MIAI terus mengembangkan diri di tengah-tengah ketidakcocokan dengan kebijakan dasar Jepang. MIAI menjadi tempat pertukaran pikiran dan pembangunan kesadaran umat agar tidak terjebak pada perangkap kebijakan Jepang yang semata-mata untuk memenangkan perang Asia Timur Raya.
Pada bulan Mei 1943, MIAI berhasil membentuk Majelis Pemuda yang diketuai oleh Ir. Sofwan dan juga membentuk Majelis Keputrian yang dipimpin oleh Siti Nurjanah. Bahkan dalam mengembangkan aktivitasnya juga menerbitkan majalah yang disebut ‘Suara MIAI’.