“Korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas,” kata Robert Klitgard.
Gone Theory yang dikemukakan oleh Jack Bologone mengurai beberapa faktor penyebab korupsi adalah keserakahan (greed), kesempatan (neds), dan pengungkapan (expose).
Keserakahan berpotensi dimiliki setiap orang dan berkaitan dengan individu pelaku korupsi. Organisasi, instansi, atau masyarakat luas dalam keadaan tertentu membuka faktor kesempatan melakukan kecurangan.
Faktor kebutuhan berkaitan erat dengan individu-indvidu untuk menunjang hidupnya yang wajar. Faktor pengungkapan berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan.
Korupsi politik tak hanya merugikan keuangan negara, lebih dari itu menggangu pembangunan sosial-politik, serta berdampak pada hak asasi manusia. Artidjo Alkostar berpendapat bahwa korupsi politik di Indonesia sudah kronis.
Perbuatan memperdagangkan pengaruh atau tranding influence dan memperkaya diri secara tidak sah merupakan perbuatan korupsi.
Dalam prespekti ontologi perbuatan yang bersifat korup tidak dikehendaki oleh masyarakat, dan dilihat secara aksiologis, hal ini juga tidak cocok dengan nilai atau kepatutan yang berlaku dalam bangsa beradab. Ini merupakan manifestasi dari keserakahan yang asosial dan menularkan perilaku koruptif multi efek.
Dalam pasal 18 Konvensi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) Anti Korupsi tersebut, melarang adanya pejabat publik yang memperdagangkan pengaruh. Perbuatan melakukan hubungan transaksional yang tidak patut mengakibatkan kerugian publik.
Jika kita melihat perilaku penyelenggara negara akhir-akhir ini mulai dari pelosok sampai ke pusat, eksekutif, yudikatif, hingga legislatif, sejenak hilang kepercayaan publik. Sangat tak mungkin kemajuan apalagi perkembangan akan tercapai tanpa bebas dari korupsi politik.
Korupsi politik marak terjadi akibat lemahnya pengawasan hukum dan kontrol publik yang diperketat dengan budaya patronase. Situasi ini dapat melemahkan fungsi negara yang tak lagi efektif.
Tanpa sadar ini adalah pelemahan yang lahir akibat kondisi sosial ekonomi, dan pendidikan masyarakat yang tak memadai. Atau bisa jadi karena kekuasan politik yang opresif.
Para penyandang gelar ‘yang mulia’ pun tanpa malu melakukan korupsi. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), sejak 2021 hingga 2024 terdapat 29 hakim yang ditetapkan tersangka dalam kasus korupsi suap untuk mengatur hasil putusan. Paling terbaru diawal 2025 adalah kasus suap hakim pada perkara ekspor crude plam oil (CPO).
Krisis Integritas Kepemimpinan Jujur
Bagaimana dengan pemerintah Halmahera Barat akhir-akhir ini? Hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2024 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, yang dipublis 22 Januari 2025, dari sepuluh kabupaten kota di Maluku Utara, Halmahera Barat berada pada peringkat terakhir dengan integritas paling rendah dengan presentase 59,37.
Bagi KPK angka ini masuk dalam kategori rentan yang diberi skor merah. Ini menunjukan bahwa cita-cita ‘Diahi Halmahera Barat’ belum sepenuhnya terpenuhi.
Sembilan langkah aksi janji kerja, sebagai implementasi kinerja pemerintahan JUJUR (akronim: bupati dan wakilnya, James Uang dan Djufri Muhamad) periode pertama yang terangkum dalam semboyan ‘Diahi Halmahera Barat’ yang bermakna memperbaiki, merapikan, dan mengakselerasi pembangunan, belakangan tuai kritikan.
Hampir disetiap opini BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) kepada kepemimpinan mereka terdapat inkonsistensi pada dua poin, yang pertama lemahnya pengendalian interen, dan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Relokasi Rumah Sakit Pratama merupakan satu dari sekian banyak kontroversi masyarakat terhadap kepemimpinan JUJUR. Satu tahun lalu bupati pernah menyebut bahwa “jika rumah sakit yang megah itu di bangun di Desa Janu Kecamatan Loloda, bukan hanya tidak ideal tetapi mubazir.”
Ucapan dan keputusan sepihak itu bagi penulis sangat menyayat hati. Selain dari pernyataan yang tak pantas melalui media daring terkait fasilitas kesehatan, dalam perspektif birokrasi dan tata-kelolah pemerintahan, Loloda tak lebih dari tempat mutasinya lawan politik pasca Pemilu.
Fakta lain dari kinerja pemerintahan JUJUR yang sarat dengan korupsi politik adalah terkait penyaluran bansos akhir studi yang semrawut, infastruktur jalan di beberapa titik yang rusak, tunggakan gaji petugas kebersihan, aparatur desa, hingga pengelolaan minyak tanah subsidi untuk warga, yang tak kunjung usai.
Hal ini bertentangan dengan asumsi Ketua Komisi I DPRD Halmahera Barat Yoram Uang pada 21 April 2025, pengelolaan pemerintahan dan keuangan pada masa kepemimpinan JUJUR baik-baik saja, dengan dalil opini WTP atau Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK Perwakilan Maluku Utara.
Padahal, maksud dari opini WTP merupakan indikasi mengenai kualitas laporan keuangan apakah sudah menyajikan secara wajar dan sesuai Standar Akuntansi Pemeriksaan (SAK) atau Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) yang diutamakan pada masalah material.
Dan, itu bukan garansi bebas dari korupsi. KPK mengarisbawahi pentingnya pemahaman yang tepat mengenai maksud dari opini tersebut, sehingga tidak ada pemahaman kalau WTP sebagai jaminan bahwa entitas atau daerah tertentu bebas dari korupsi.
Pencitraan yang Tak Berdampak
Sekilas tentang pencitraan, terdapat dua elemen dasar yakni positioning–seperti apakah pelaku politik ‘ditempatkan’ dalam pikiran penerima pesan politik. Ries dan Trout mendefenisikannya sebagai menempatkan produk dalam pikiran konsumen.
Meski begitu, positioning bukanlah suatu yang dilakukan terhadap produk itu sendiri, melainkan menempatkan produk itu dalam pikiran calon konsumen. Sementara memory adalah bagaimana kesan terhadap pelaku politik di-hold dalam pikiran penerima pesan.
Manusia pada hakekatnya adalah cognitive miser (pelit mengalokasikan sumber daya kongnitifnya) dan kerap menyeleksi informasi yang ingin disampaikan dalam memori; hanya hal-hal yang dinilai penting olehnya-lah yang disimpan, sedang lainnya dibuang.
Apalagi dalam dunia yang dipenuhi dengan pesan-pesan komunikasi (overcommunicated society), manusia memiliki semacam mekanisme yang disebut oversimplified mind, di mana pikiran hanya menyerap pesan-pesan dianggapnya tidak terlalu rumit dan sederhana.
Untuk mendekati dua elemen dasar di atas, dibutuhkan persuasi atau usaha menyakinkan orang lain untuk berbuat dan bertindak seperti diharapkan komunikator tanpa paksaan, atau memperteguh sikap, kepercayaan dan prilaku khalayak secara sukarela (Kamarudin Hasan 2009).
Setelah sembilan langkah aksi dan ragam janji yang tuai banyak kecaman serta jauh dari realisasi, kini hadir kembali dengan tujuh langkah aksi pada periode ke dua, yang katanya memperbaiki Halmahera Barat, dimulai dengan berbagai macam pencitraan di platform media.
Seperti video dengan durasi 2 menit 33 detik yang diunggah pada akun Facebook Bupati Halmahera Barat juga politisi Partai Demokrat, pada 21 April 2025. Jumlah tayang 9,2 ribu, 78 komentar (paling banyak pujian) dan 20 kali dibagikan.
Pada detik ke 7, sambil berbicara bupati mengeluarkan uang dari dompet, terlihat arahan dari sopir juga rombongan bupati ke beberapa petani, supaya masuk dalam footage tersebut sambil mengambil uang yang diberi, tampak gestur tubuh seorang perempuan paruh baya cendrung membelakangi lawan bicara (bupati), sekilas membosankan.
Dalam pisikologi, ini hanya satu jenis bahasa tubuh yakni menghindari atau kurang kontak mata. Mungkin karena bosan, marah atau apapun itu.
Goenawan Muhammad dalam kesimpulan menyindir, yang lebih penting; kemasan. Menurutnya kehidupan ber-politik telah berubah menjadi lapak dan gerai, kios dan show-room. Sebuah masa yang menempatkan hasil jejak pendapat umum jadi ukuran yang lebih penting ketimbang kebenaran.
Seperti dua sisi uang logam, antara pencitraan dan kebohongan publik tak terpisahkan, yang terlaksana dan didukung oleh berbagai sarana.
Robert Feldman pisikolog di University of Massachusetts mengatakan, kebohongan yang kita terima dari para politisi adalah hal yang diterima, karena itulah yang ingin kita dengar, seperti ketika pasangan anda bilang pakaian anda keren.
Sebab itu, sebagian besar dari kebohongan terutama kebohonagn politisi, tidak berdampak dan berfungsi hanya untuk menghindari kecanggungan, membantu orang membuat kesan baik atau membuat orang lain merasa senang.
Kepemimpinan yang sarat dengan kepentingan kelompok, tapi abai terhadap amanat rakyat sulit megawal kebijakan publik dalam semua aspek, yang ada hanya demokrasi kehilangan nyawa, dan korupsi politik tumbuh subur. Halmahera Barat sedang mencari pemimpin, bukan penguasa tak kenal batas.
***
Penulis Dealfrit Kaerasa adalah staf di LBH Marimoi