“Anak kota, anak kampung. Putra daerah, orang luar. Pendatang dan orang lokal. Fagogoru dan bukan Fagogoru.”
Kata-kata di atas mengingatkan saya pada istilah ‘kadrun, cebong, kampret, buzzeeRp’. Yang mewarnai Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019. Bahkan, hingga kini stigma itu masih terdengar.
Stigma-stigma tersebut ditujukan kepada Jokowi, juga kepada Prabowo atau kepada calon lainnya yang dalam wacana politik dianggap berbeda pandangan.
Tak ayal lagi, para pengamat menilai label atau stigma demikian adalah menguatnya politik identitas dalam ajang kontestasi politik perebutan kekuasaan.
Lantas apakah label ‘Anak kota, anak kampung. Putra daerah dan orang luar. Pendatang dan orang lokal. Fagogoru dan bukan Fagogoru’ disebut sebagai menguatnya politik identitas.
Kemunculan Ikram Malan Sangadji sebagai Pj Bupati Kabupaten Halmahera Tengah menuai wacana politik di kalangan politisi, partai, mahasiswa, masyarakat hingga LSM.
Stigma Jakarta, pendatang, bukan Fagogoru, orang luar, orang kota, bahkan sampai penyebutan nama kampung mewarnai politik Halmahera Tengah.
Perlu juga diketahui, bukan hanya Pj Bupati, yakni Ikram Malan Sangadji saja yang distigma atau dilabelkan demikian. Jauh hari Mutiara T Yasin istri dari Al Yasin Ali (mantan Plt Gubernur Maluku Utara).
Pada perhelatan Pilkada 2017 juga dilabelkan atau distigma hanya sebagai Milovo (anak mantu) di Negeri Fagogoru. Juga disebut pendatang. Kemudian, distigma hanya akan menguntungkan pendatang jika dia memimpin. Dan berbagai label lainnya ditujukan padanya.
Dalam politik kontemporer dewasa ini, politik identitas diartikulasikan dengan masalah etnis, suku, asal daerah, pendatang, orang luar. Kemudian juga agama, budaya dan bahkan ideologi.
Seperti para pedagang China jika menguasai suatu wilayah dalam urusan bisnis pasti disebut komunis, tidak ada agama dan lain sebagainya.
Tapi tak bisa dipungkiri juga, politik identitas yang diartikulasikan ke wilayah SARA itu justru sangat lekat dengan kepentingan elit di momen kontestasi politik untuk merebut kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan.
Yang menjadi pertanyaan? Apakah yang dimaksud diatas adalah politik identitas atau politisasi identitas. Dan, kalau benar itu adalah politik identitas apakah sedemikian buruk maknanya.
Ini menjadi penting untuk khalayak banyak, terutama politisi, mahasiswa, dan kalangan intelektual agar bisa menjabarkan seperti apa politik identitas dan seperti apa pula politisasi identitas.
Apa Itu Politik Identitas
Istilah politik identitas seperti yang kita kenal sekarang ini baru muncul di pertengahan dekade 1960-an. Sebelumnya pada dekade 1950-an istilah ini belum dikenal luas.
Menurut Marie Moran, dalam tulisannya Coen Husain Pontoh di Indoprogress yang berjudul “Rasisme, Politik Identitas dan Masalah Papua: Sebuah Penjelasan Menulis Sejarah”.
Bahwa tidak ada satu pun publikasi akademik, jurnal, media populer, terbitan bisnis dan korporat, pernyataan politik hingga manifesto gerakan yang membahas identitas seksual, etnis, ras, national, politik, konsumen, atau bahkan krisis identitas.
Moran yakin istilah politik identitas seperti yang kita kenal sekarang baru muncul pada pertengahan dekade 1960-an.
Lebih jauh lagi dalam ulasannya, bahwa yang melatar belakangi istilah politik identitas dikarenakan ada dua momen historis yang menyejarah. Pertama, dinamika politik dan ideologi di dalam gerakan kiri, khususnya kiri aaru AS pada dekade 1960-an.
Dan Kedua, akibat runtuhnya sistem ekonomi keynesianisme sepanjang 1970-an yang kemudian digantikan dengan sistem kapitalisme neoliberal.
Dalam pergolakan politik yang demikian, konflik ideologi dan kemuncul gerakan kiri baru dan lahirnya sistem kapitalisme neoliberal serta menguatnya patriarki menjadi jalan bagi lahirnya gerakan politik identitas.
Keeanga Yamahtta Taylor dalam How Wet Get Free Black Feminism and The Combahee River Collective, mengatakan istilah politik identitas pertama kali digunakan oleh kolektif radikal perempuan kulit hitam Combahee River Collective (CRC) yang didirikan pada tahun 1974 di Boston, Amerika Serikat.
Harus bisa dipahami, kolektif radikal CRC itu didirikan sebagai gerakan politik perempuan kulit hitam yang tak bisa dilepas pisahkan dari kondisi ekonomi politik kapitalisme dan imperialisme serta patriarki.
Gerakan politik kolektif radikal perempuan kulit hitam atau CRC itu dalam menentang patriarki tidak sama sekali menentang laki-laki, melainkan menjadi lelaki sebagai aliansi yang kuat untuk menghancurkan sistem ekonomi kapitalisme imperialisme.
Dari sejarah singkat yang diulas di atas, tentunya pembaca bisa memahami sejarah lahirnya politik identitas. Politik identitas tidak berkonotasi sempit justru secara politik memiliki arah dan tujuan yang progresif.
Gerakan politik identitas juga berpihak kepada kaum minoritas di dalam masyarakat. Berpihak kelas pekerja, perempuan, petani atas tirani kapitalisme imperialisme.
Lalu saat ini politik identitas telah bergeser jauh dari sejarah dan tujuannya. Coen Husain Pontoh menyebut, politik identitas telah dikooptasi oleh elit ekonomi dan politik pendukung kapitalisme neoliberalisme.
Politik identitas dari berbagai kelas tertindas telah diganti dengan the personal is political (personal bersifat politik).
Sejalan dengan kepentingan elit ekonomi dan politik, maka politik identitas telah menjadi agenda kepentingan kapitalisme neoliberalisme di dalam masyarakat kita.
Hal ini menjadi sangat penting untuk menjauhkan masyarakat dari masalah substansi, dengan begitu agenda ekonomi politik rezim oligarki, kapitalisme neoliberalisme berjalan mulut tanpa harus memikirkan kekuatan rakyat yang bisa menghancurkan mereka.
Politisasi Identitas
Selanjutnya, politisasi identitas. Kenapa saya harus mengulas sedikit soal politisasi identitas? Ini menjadi penting, karena praktek politik dalam momen menuju kontestasi Pilkada Halmahera Tengah justru yang terjadi adalah politisasi identitas bukan politik identitas.
Karena merujuk dari sejarah politik identitas yang dicetuskan oleh Combahee River Collective (CRC) kolektif radikal gerakan perempuan kulit hitam di Boston, Amerika Serikat, pengunaan stigma atau label.
Misalnya ‘anak kota, anak kampung. Putra daerah, orang luar. Pendatang dan orang lokal. Fagogoru dan bukan Fagogoru.’ sangat tidak representatif dan representasi dari politik identitas yang menentang dominasi ekonomi politik kapitalisme imperialisme.
Dan, pembelaan secara politik terhadap kelas minoritas yang tertindas. Olehnya itu, sangatlah bobrok mendukung politik identitas ala elit ekonomi dan politik kapitalisme neoliberalisme.
Pengunaan stigma atau label pendatang, lokal, fagogoru, bukan fagogoru, anak kota, anak kampung, orang luar, orang asli adalah politisasi identitas. Karena serang politiknya pada personal bersifat politik.
Dalam politisasi identitas, yang terjadi adalah elit vs elit dalam perebutan kekuasaan, sehingga identitas-identitas dipolitisir sedemikian rupa untuk kepentingan. Rakyat yang akan menjadi korban dari konflik elit, karena ruang konflik justru terbuka di akar rumput bukan kelas atas.
Pembaca tentunya tahu siapa itu Adolf Hitler? Yang menggunakan ras Arya sebagai identitas mayoritas sebagai ras unggul dan superior dibandingkan dengan ras lainnya di Jerman terutama Yahudi.
Kelompok ekstrimis nasional Hindu di India juga mengklaim ke-Hinduaannya sebagai agama mayoritas yang unggul dan pantas mengelola pemerintahan dan berkuasa dari pada agama lainnya.
Muslim Rohingnya juga dipersekusi oleh Buddhis nasionalis ekstrim di Myanmar. Hal ini tidak lepas dari kepentingan kekuasaan dalam tatanan ekonomi politik dunia yang mengabdi kepada kapitalisme neoliberal.
Di Indonesia, politisasi identitas sudah cukup kuat mengakar, bagaimana kelompok agamais selalu bertentangan dengan kelompok nasionalis. Juga agamais dan agamais, yang kalau dipikir-pikir ini bukanlah suatu kebetulan belaka.
Semisal kelompok Minahasa sempat berkonflik dengan minoritas muslim di Sulut ditengah situasi Pilpres 2024. Apakah Pilkada Halmahera Tengah akan tercebur ke dalam lumpur kebobrokan ini.
Penulis: Firmansyah Usman (Jurnalis dan Pegiat Sastra)
Tinggalkan Balasan