Radarmalut.com – Setelah menerbitkan somasi ketiga. Kini, Polda Maluku Utara telah mamatok plang peringatan keras terhadap warga Ubo-Ubo, Bastiong Karance dan Kayu Merah untuk angkat kaki dari lahan seluas 4,5 hektare itu. Namun perwakilan warga menilai lembaga vertikal ini mengingkari hasil kesepakatan beberapa hari lalu.
Ketua LBH Ansor Ternate, Zulfikran Bailussy menyayangkan langkah yang diambil Polda atas perkara tanah di tiga kelurahan di Kecamatan Ternate Selatan. Pemasangan plang peringatan menyebut warga menempati tanah secara ilegal oleh milik institusi kepolisian tidak mencerminkan semangat dialog.
Padahal, belum lama ini, LBH Ansor secara resmi diundang untuk audiensi bersama Polda Maluku Utara dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Maluku Utara. Pasalnya, dalam forum tersebut Kabidkum menyampaikan kesediaan institusinya untuk membuka ruang mediasi terbuka dengan warga.
“Tapi, fakta di lapangan menunjukkan inkonsistensi sikap. Baru saja audiensi digelar, somasi ketiga dilayangkan dan sekarang berujung pada pemasangan plang berisi ancaman pidana terhadap warga, tanpa upaya mediasi sebagaimana telah disampaikan sendiri oleh perwakilan Polda,” jelasnya, Kamis (24/7/2025).
Zulfikran mengatakan, tindakan pemasangan plang dengan mencantumkan ketentuan pidana, seperti Pasal 385 KUHP tentang Penyerobotan Tanah, Pasal 167 KUHP tentang Memasuki Pekarangan Tanpa Izin, dan PP Pengganti Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960, bahwa adalah pendekatan yang mengedepankan kekuatan koersif negara.
Dalam substansi perkara ini, klaim hak atas tanah oleh Polda Maluku Utara berdasarkan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 3 Tahun 2006 patut dipertanyakan secara yuridis. Mengingat institusi negara, termasuk kepolisian sesuai ketentuan hukum agraria, semestinya hanya dapat diberikan hak atas tanah berupa Hak Pakai, bukan Hak Milik.
Hal ini diatur di Pasal 45 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, maupun Pasal 1 angka 2 dan Pasal 16 ayat (1) huruf f UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) tentang Pokok-Pokok Agraria.
Dengan demikian, Menurut Zulfikran, status Sertifikat Hak Milik yang diklaim Polda tersebut perlu diuji secara hukum dan tidak dapat serta-merta menjadi dasar tuduhan pidana terhadap warga.
“Jadi, pengosongan lahan oleh warga harus didahului oleh pembuktian kepemilikan yang sah dan adil di pengadilan, bukan melalui tekanan psikologis dan kriminalisasi. Negara tidak boleh mengabaikan hak-hak rakyat, apalagi terhadap warga yang sudah lama bermukim dan menggantungkan hidup di atas tanah itu,” paparnya.
Pihaknya mendorong Pemerintah Kota Ternate dan BPN Maluku Utara untuk bersikap terbuka, objektif, dan adil dalam menangani sengketa lahan, serta tidak tunduk pada tekanan institusi vertikal manapun yang bisa menciptakan konflik horizontal baru di tengah masyarakat.
Diketahui, pemasangan plang peringatan di sejumlah titik atas tanah yang masih disengketakan pada pagi tadi. Bertuliskan ‘Peringatan Keras!!! Tanah ini milik Polda Maluku Utara sertifikat hak milik nomor 3 tahun 2006 yang dikelurkan oleh BPN Provinsi Maluku Utara, seluas 4,9 hektare’.
‘Catatan: bahwa barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam pidana penjara paling lama 5,6 tahun sesuai Pasal 170 ayat (1) KUH-Pidana’.
***
