Radarmalut.com – Laporan pelanggaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) Maluku Utara maupun sejumlah kabupaten dan kota mesti melalui tahapan tertentu karena Mahkamah Konstitusi (MK) bakal menolak semua gugatan jika tanpa ada proses tersebut.
Praktisi Hukum Agus Salim Tampilang mengatakan, MK tak berwenang menangani dugaan pelanggaran administrasi pada pemihan gubernur, bupati, wali kota, yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif apabila sebelumnya belum pernah ditangani secara berjenjang.
“Lembaga yang berwenang menangani pelanggaran Pilkada adalah Bawaslu. Kalau tidak pernah dilakukan upaya ke Bawaslu, itu berarti bukan kewenangan MK,” kata Agus kepada radarmalutcom dalam keterangan tertulisnya, Kamis (5/12/2024).
Menurutnya, Peraturan Bawaslu Nomor 9 Tahun 2020 tentang Tata Cara Penanganan Pelanggaran Administrasi Pilkada, hanyalah Bawaslu. Untuk itu, dikatannya bagi peserta kontestan Pilkada di Maluku Utara, baik gubernur, bupati, atau wali kota yang beranggapan ada pelanggaran silakan mengajukan perkara.
“Jika tak demikian, maka MK tidak berwenang mengadili perkara. Sebab, merujuk beberapa putusan yurisprudensi secara limitative MK selalu membatasi diri hanya menyelesaikan sengketa hasil Pilkada bukan seperti dugaan pelanggaran dan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif,” jelasnya.
Agus berujar namun berdasarkan pada Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2012, kewenangan penyelesaian sengketa hasil Pilkada merupakan kewenangan badan peradilan khusus. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 24C UUD Tahun 1945, secara tegas menyatakan salah satu kewenangan MK.
Memutuskan, Agus memaparkan, perselisihan tentang hasil Pilkada dan tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran dan kecurangan, karena merupakan legal policy atau hak pembentuk Undang-undang, kewenangan Bawaslu untuk menangani perkara.
Lebih lanjut, Agus pun menuturkan, meskipun badan tersebut dibentuk, kewenangan mengadili masih tetap dilimpahkan pada MK, sehingga lahirnya Putusan MK Nomor 85/PUU-XX/2022 lalu ditafsirkan Undang-undang dasar 1945.
“Secara sistematis, ini juga berakibat pada perubahan penafsiran atas kewenangan MK yang termaktub dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, sehubungan dengan konstitusionalitas lembaga yang berwenang menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada melalui badan peradilan khusus, kemudian menempatkan kewenangan langsung menjadi kewenangan MK,” terangnya.