Sudah jatuh tertimpa tangga pula.” peribahasa ini menjadi analogi untuk menggambarkan suatu kondisi malang dari seseorang yang mengalami nasib bertubi-tubi.

Secara politik, mantan Bupati yang dijuluki sebagai politisi seribu nyawa itu mendapati nasib yang sama seperti peribahasa di atas. Eks Wakil Bupati Abdurahim Odeyani juga berada dalam nasib yang sama secara politik.

Jatuh, karena saat menjadi bupati di periode sebelumnya, Edi mempersonifikasikan dirinya sebagai pemimpin yang otoriter. Semua pejabat birokrasi di dinas-dinas pada masanya tidak memiliki kewenangan untuk menciptakan lembaga-lembaga mereka agar efektif dan efisien.

Pelayanan publik jadi bobrok, dan itu cukup dirasakan oleh masyarakat. Banyak guru mengeluh mengurus berkas proposal ke kantor kabupaten, sebab harus menunggu bupati. Begitu juga masyarakat. Itu pun tak mungkin hari itu urusan mereka selesai, terkadang dua sampai tiga hari menunggu.

“Kalau sudah ketemu bupati, belum tentu urusan berjalan mulus, harus kena semprot dan cacian dulu,” kata salah satu guru yang enggan disebutkan namanya.

Max Weber seorang sosiolog terkenal dalam teori birokrasi menyebutkan ada kurang lebih sekitar tujuh ciri-ciri birokrasi. Satu di antaranya yang paling nampak dalam kekuasaan Edi pada pemerintahannya adalah menjadikan birokrasi sebagai miliknya, bukan pengelolaan organisasi.

Weber mengatakan di dalam birokrasi, kepemilikan dan pengelolaan organisasi dipisahkan. Keputusan pengambilan didasarkan pada kompetensi dan peran fungsional, bukan kepemilikan pribadi.

Inilah yang kemudian menyulitkan organisasi kebirokrasian menciptakan peran fungsional dan kompetensi dalam melayani masyarakat, sebab birokrasi telah digeser menjadi milik pribadi.

Dalam diskursus politik, pemerintah yang dikuasai dan diatur berdasarkan keinginan bupati disebut sebagai otoriter, yakni pemusatan kekuasaan pada diri sang pemimpin itu sendiri.

Baca Juga:Benny

Dalam kurung waktu lima tahun dijalankan berdasarkan otoritarianisme bupati membuat masyarakat menjadi muak, bosan dan membutuhkan kepemimpinan yang lebih baik, setidak-tidaknya pelayanan publik bisa dengan mudah dirasakan oleh masyarakat.

Ikram Malan Sangadji Sang Juru Selamat

Hanya butuh 1 tahun 7 bulan 25 hari, Ikram yang merupakan seorang birokrat di Kementerian Investasi di Jakarta diangkat menjadi Plt Bupati Halmahera Tengah pada 2022 silam menggantikan Edi dengan sekejap merubah wajah birokrasi, bisa dikatakan ia melakukan reformasi birokrasi.

Sebelumnya, birokrasi yang tersentralistik (otoriter) ke mantan bupati Edi Langkara diubahnya menjadi birokrasi yang fungsional dan kompeten artinya birokrasi dihidupkan kembali sebagai organisasi yang dipimpin oleh pejabat-pejabatnya.

Kemudian pelayanan publik lebih dekat dengan rakyat. Alhasil, masyarakat merasa puas, bahkan untuk ketemu bupati saja dilayani dan bisa bercengkrama lalu tertawa lepas tanpa ada beban.

Dalam teori orang-orang Halmahera Tengah ‘kami tidak butuh uang, yang kami butuh adalah senyum, tegur dan tidak mengabaikan kami’, dan Ikram Sangadji membuktikan itu.

Tak hanya pada pelayanan publik, kunjungan kerja ke berbagai desa, Ikram mempersonifikasikan dirinya sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat. Ia menunjukkan dirinya ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang kecil.

Ikram juga mewujudkan -programnya, ia beri insentif untuk ibu hamil dan menyusui, pendidikan gratis, pemberian seragam sekolah gratis, kesehatan gratis, bahkan yang sakit hingga dirujuk diberi , yang meninggal juga demikian.

Bantuan juga diberikan kepada , begitu pula nelayan. Pegawai negeri pun mendapatkan TPP yang tinggi. Gaya kepemimpinannya ini telah membawa masyarakat Halmahera Tengah merasakan dinamika politik baru.

Ini menjadi nilai plus baginya dan mengantarnya pada kemenangan politik dalam pertarungan Pilkada Halmahera Tengah 27 November 2024 kemarin, terlepas dari konspirasi politik yang menguak kepermukaan.

Edi mencoba tampil kembali dalam panggung politik entah ini karena post power syndrom atau memang dirasa perlu menyelamatkan negerinya dari kehadiran orang luar yang dititipkan dari Jakarta dalam Pilkada Halmahera Tengah.

Tapi, Edi lupa bahwa ia sudah terjatuh dan kekalahannya dalam Pilkada 2024 dan juga lewat putusan MK ini ibarat tertimpa tangga.

Ikram Elit Baru Titipan Jakarta

Sejak awal saya sudah menduga bahwa elit lokal seperi Edi akan tersingkir dari Partai Golkar. Ikram sebagai Plt Bupati Halmahera Tengah akan mengambil perahu Golkar untuk memenangkan Pilkada 2024.

Peta politik nasional memberikan gambaran konkret kalau akan terjadi perubahan signifikan ke berbagai daerah termasuk Halmahera Tengah.

Jokowi diakhir jabatannya memberikan sinyal kepentingannya di Pilpres melalui Plt kepala daerah yang dipasangnya di seluruh daerah di Indonesia, termasuk di Halmahera Tengah.

Para Plt tersebut terafiliasi secara politik dalam pemenangan Prabowo-Gibran. Tak bisa dipungkiri Gibran adalah anak dari orang nomor satu di Indonesia.

Golkar merupakan partai elit di Indonesia memberi kontribusi besar secara politik memenangkan Prabowo-Gibran dengan suara terbanyak di 15 Provinsi, ini adalah langkah maju Partai Golkar dalam beberapa pertarungan sebelumnya.

Hal tersebut kemudian membuat partai berlambang beringin harus mengambil langkah populisme, merevitalisasi struktur partai yang tidak berkembang di daerah-daerah, menyingkirkan orang-orang yang dinilai tidak bisa membawa organisasi ke dinamika politik baru.

Kader-kader Golkar termasuk Edi Langkara harus ditendang keluar demi gaya politik populis. Ikram adalah elit baru mengambil perahu Golkar. Muhammad Ridha dalam artikelnya yang diterbitkan di Indoprogress berjudul Kemiskinan Politik ‘Pemimpin Berprestasi’ menjelaskan fenomena elit politik baru ini secara gamblang.

Ikram dibeking oligarki Jakarta akan memainkan peran politik yang dekat dengan rakyat demi terjaganya investasi di dalamnya juga ada saham-saham milik tuan-tuannya

Jadi, sangat tidak logis kalau kehadiran Ikram menciptakan politik baru di Halmahera Tengah. Ia sebenarnya adalah personifikasi dari elit lama (oligarki Jakarta) yang berkepentingan mengamankan investasi dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).

Gerindra ialah partai penguasa, didukung oleh Golkar sebagai partai koalisi akan memainkan peran penting dalam percaturan politik ke depan.

Elit-elit baru yang dibeking oleh elit di Jakarta tetap mengkonsolidasikan kepentingan neoliberalisme di Indonesia sebagai roda ekonomi yang menguntungkan.

Halmahera Tengah tidak terlepas dari kepentingan neoliberalisme, hilirisasi nikel menjadi nyawa oligarki. Elit-elit Jakarta dengan politik populisme membeking elit baru diberbagai daerah untuk menjaga tatanan .

***

  dan pegiat lingkungan

Tim Radar
Editor
Radar Malut
Reporter