Puluhan bocah berkerumun dengan wajah sumringah saat bus besar berwarna merah hitam itu mendekati pintu stadion. Mereka berebut posisi terdepan. Tak peduli sebagian diantaranya hanya berpakaian seadanya. Ada juga yang bertelanjang kaki. Apa yang mereka cari?.

Bocah-bocah itu sedang mengagumi pemain Malut United FC–sebuah tim baru di kasta tertinggi sepakbola Indonesia yang baru pulang bermain di kampung sendiri setelah hampir dua tahun jadi musafir.

Teriakan nama pemain bersahutan. Beberapa pemain membalas dengan lambaian tangan dan senyum sebelum menghilang dibalik pintu masuk. Kerumunan itu seperti menemui tembok stadion yang jadi pemisah. Tak ada jalan masuk ke dalam.

Baca Juga:Benny

Lalu mendadak sang owner klub mendekat. Mau nonton? Tanya yang dijawab dengan kompak tanpa ragu oleh bocah-bocah itu. Mau! David Glen–lelaki kelahiran Ambon yang mendedikasikan hidupnya untuk kebahagiaan warga Utara melalui sepakbola meminta pihak pengelola memasukkan puluhan bocah ke dalam stadion.

“Mereka mengingatkan saya dengan apa yang saya alami puluhan tahun lalu saat berdesakan di pintu stadion. Mau nonton tapi tidak punya uang,” ungkap David saat kami berbincang malam setelah laga di stadion Gelora Kie Raha.

Déjà vu sang owner sejatinya adalah bagian dari ingatan dan juga kenangan kolektif sebagian besar orang tentang Gelora Kie Raha. Ingatan mudah diatur. Tersimpan dalam memori dengan nama “masa lalu”.

Sedangkan kenangan lebih pada sesuatu yang sporadis, muncul kapan saja, kadang berantakan dan saling tabrak dan juga didesain untuk sesuatu yang menyenangkan. Dengan itu kita akan mengingat yang menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai “penjaga stadion”. Kita kenang bagaimana lari terbirit-birit dikejar Om Daud saat masuk tanpa izin.

Kita ingat bagaimana jeruji besi yang kokoh di tiap pintu masuk secara ajaib diperbesar jaraknya agar kepala bisa masuk. Masa itu–entah bagaimana kepala jadi standard kelolosan. Jika kepala bisa masuk maka badan akan ikut secara otomatis.

Saya ingat beberapa teman yang kepalanya agak besar gagal melewati rintangan ini. Ada cara kedua yang lebih “aman”. Di bawah tembok bagian selatan–saat ini tepat berhadapan dengan soccer café, ada selokan besar tempat pembuangan air. saya beberapa kali lewat sini.

Saat kepala menyembul di bagian dalam yang tertutup rerumputan liar dan batu, hal pertama yang dilakukan adalah memastikan Om Daud tak ada. Apesnya, Om Daud seperti komandan garnisun yang sudah mengetahui cara ini.

Ia kadang bersembunyi dan menyergap saat kami sudah di dalam. Hukuman bagi para “penerobos batas” berulang kali dirasakan tetapi kami menerimanya dengan kegembiraan. Gelora adalah tempat bermain yang tak tergantikan.

Gelora Kie Raha sejatinya bukan stadion sepakbola semata. Ia didesain sebagai pusat olahraga. Itulah sebabnya dinamakan gelanggang olahraga yang jamak disebut Gelora. Ia juga jadi semacam hasrat yang menyatukan.

Gairah untuk menunjukan identitas Maluku Utara. Hegel menyebut sejarah manusia digerakkan oleh perjuangan untuk pengakuan. Pengakuan disini lebih pada sesuatu yang universal. Sesuatu yang melintasi batas parsial atas nama agama, ras, etnis, dan individu yang merasa superior.

Sebab itu, pusat olahraga ini diberi nama Kie Raha. Benchmark yang menginstal ulang kejayaan “marimoi ngone futuru” yang jadi pedestal empat kesultanan besar di masa lalu. Nama ini juga menopangtinggikan integritas tokoh besar dibalik pembangunan kawasan Gelora Kie Raha.

Namanya Jacub Mansoer. Bupati Maluku Utara terlama yang berkuasa sejak tahun 1967 hingga 1978. Lahir di Wayabula 20 Desember 1933. Om Kub–saya menulis panggilan ini sebagai tanda cinta dan hormat–adalah putra pasangan Mansoer Baba dan Ma’mur Djama. (tentang sosok luar biasa ini akan saya tulis secara terpisah mengingat banyaknya legacy yang ditinggalkan untuk Maluku Utara).

Usai menamatkan Akademi pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Malang pada tahun 1959, Om Kub mengikuti tes Sepacad pada Komando Militer V Brawijaya dan dinyatakan lulus terbaik pada tahun 1960 dengan pangkat Letnan Dua.

Tak lama setelah itu, ia balik ke Ternate. Kiprahnya mulai tercium saat ia yang jadi Ketua DPRD Kabupaten Maluku Utara dari Fraksi ABRI yang bertemu Presiden Soekarno di Istana Negara untuk menyampaikan aspirasi terkait tuntutan pemekaran wilayah Maluku bagian Utara jadi propinsi sendiri.

Om Kub yang kala itu berpangkat Letnan Satu bersama sejawatnya–sejumlah tokoh perjuangan Maluku Utara, membawa serta sumbangan 1000 ton kopra dari rakyat yang dikumpulkan untuk NKRI.

Dalam pertemuan di pendopo belakang Istana pertengahan tahun 1964, Soekarno menyambut positif usulan itu dan berjanji akan memuluskan jalan pemekaran. Sayangnya pemberontakan PKI September 1965 mengubur mimpi jadi provinsi sendiri karena Soekarno belakangan ikut tumbang.

Namun dalam pertemuan itu, Soekarno bercerita tentang mimpinya untuk menjadikan Indonesia sebagai poros baru dunia. Menjadi kekuatan baru di semua bidang mengimbangi kekuatan Barat dan Timur yang dipimpin Amerika dan Uni Sovyet.

Indonesia harus punya banyak fasilitas internasional yang jadi mercusuar untuk menarik perhatian dunia. Dimulailah pembangunan berbagai proyek raksasa antara lain Istana Olahraga (Istora) Senayan Jakarta yang terletak sedikit di pinggiran jantung ibukota.

Selain memiliki stadion sepakbola yag megah dan terbesar di Asia, kawasan Istora mencakup fasilitas lain untuk semua cabang olahraga dan menempati lahan seluas 300 Ha. Arsiteknya adalah Friedrich Silaban.

Kompleks olahraga ini mulai dibangun pada 8 Februari 1960 dan selesai dua tahun kemudian. Biayanya berasal dari dana pinjaman dari Sovyet sebesar 12,5 juta dollar AS.

Dokter Yanti Mansoer, salah satu putri Om Kub bercerita jika sepulang dari Jakarta, papanya sangat terobsesi dengan ide Soekarno. “Papa bemimpi membangun miniatur Senayan di Ternate”. Siapa sangka, obsesi ini sempat membuat Om Kub dan keluarganya terisolasi karena fitnah kolosal pemberontakan PKI.

Ia sempat “dipetieskan”. Berpindah tugas sebagai tentara yang mengurus si markas. Om Kub sempat jadi ketua koperasi tentara di Ambon tahun 1965 hingga 1967.

Terbukti tak terlibat, karir Om Kub kembali moncer setelah dipercaya jadi Bupati Maluku Utara. Mimpi membangun kawasan olahraga sebagai simbol kebangkitan Ternate dan Maluku Utara kembali menemui titik terang.

Tahun 1973, kompleks ini mulai dibangun di kawasan perbukitan yang terletak di wijk–sebutan kampung dalam bahasa Belanda–di bagian Barat Ternate. Dulu Belanda membagi Ternate dalam beberapa wijk yang dipimpin seorang “wijk hoofd”.

Pembagian sesuai abjad itu terus ada dan, belakangan orang Ternate menyebutnya dengan “Leter”. Kompleks Gelora sendiri terletak di Leter B2 yang meliputi kawasan Takoma, Kotabaru, Kampung Pisang, Toboko dan Tanah Tinggi.

Mantan Ketua KONI Ternate Lukman Poli berbagi cerita kepada saya tentang kawasan ini. Menurutnya, ada beberapa warga yang terpaksa dipindahkan. “Rumah orang tua saya, letaknya persis di gawang sebelah utara–bersama enam keluarga lain dipindahkan ke belakang rumah dinas Bupati di Kalumpang. Saya lahir di rumah dekat tiang gawang itu”.

Selain itu, perkebunan warga juga digusur. Lukman menyebut, kawasan ini semula sangat besar mulai dari batas barat di Kantor Pajak saat ini hingga ke Timur di depan gedung dan membentang dari Selatan ke Utara.

Dulu sebagian kawasan ini adalah tempat bermain golf. Dokter Yanti membenarkan cerita ini. Sebelum Gelora dibangun, dirinya kerap menemani “Sang Papa” bermain golf. Mereka sering berjalan kaki dari quest hause – rumah dinas Bupati di bilangan Takoma.

Kebiasaan itu tak berubah meski tempat bermain golf telah berganti jadi lokasi proyek. Orang-orang di sekitar situ ikut berpartisipasi dengan menyumbang batu yang dibawa langsung dari tempat mereka. “Papa saban sore ke kawasan proyek untuk mengawasi pekerjaan”.

Skema awal kompleks ini terdiri dari beberapa venue olahraga seperti sepakbola, bola voly, basket, bulutangkis, pencak silat dan sasana tinju yang bisa digunakan untuk multi event. Namun hanya Gelora yang terbangun.

Belakangan dibangun juga lapangan basket. Gelora sendiri memiliki lintasan lari yang terlihat merah karena dibuat dari pecahan “tela merah”, ada venue untuk tolak peluru, lompat jauh dan kolam air untuk triathlon.

Di bagian selatan ada tiang obor dengan ornamen bertingkat di bagian dasar sebagai penanda sebuah event akan dimulai. Papan skor untuk sepakbola ada di bagian utara. Terlihat mencolok karena didominasi warna hitam.

Di bagian barat, ada tribun tertutup yang terlihat mewah saat itu dengan deretan tempat duduk bersusun dari beton. Sedikit ke utara, masih ada perbukitan dengan ilalang yang terlihat kontras. Ini salah satu tempat favorit kami bermain seluncur yang terbuat dari kardus bekas.

Di titik tertinggi dekat tribun, dibangun sebuah “sabua” tempat reporter RRI Ternate melayangkan laporan pandangan mata. Gelora sendiri diresmikan pada 18 November 1975 seturut pelaksanaan Pekan Olahraga Daerah (Porda) Maluku Utara.

Menurut sejarawan Maluku Utara Syaiful Bahri Ruray, ketua panitia pembangunan komleks ini dipercayakan pada Syamsuddin Yusuf, Kepala Bea dan Cukai Ternate yang akrab disapa Ko Ade Duane.

Ko Ade adalah orang kepercayaan Om Kub yang juga terlibat aktif membesarkan nama Persiter Ternate. CV Daya Bangun ialah kontraktor lokal bernama besar ditunjuk sebagai pelaksana proyek. Sebagaimana pembangunan Istora Senayan, Om Kub juga melibatkan pihak swasta untuk menyokong dana pembangunan.

Syaiful menyebut sokongan itu datang dari grup “Poleko” milik AA Baramuli yang berbisnis dengan Mitsubishi Jepang. Ada “Talibu Luna Timber” dan “Mangoli Timber Plywood” yang didukung konsorsium gabungan antara Jepang dan Filipina yang bermitra sejak April 1969.

Selain Gelora, korporasi besar ini juga ikut membangun Bandara Babullah Ternate pada tahun 1971 dengan memberikan dana, alat berat dan ratusan pekerjanya. Di masa Om Kub, ikut juga dibangun Terminal di depan benteng Oranje, pasar sayur dan pasar gamalama. Ada kelindan yang visioner antara fasilitas olahraga dengan infrastruktur kota.

Zainudin M Arie–budayawan yang banyak melahirkan karya tentang Ternate bercerita jika di masa Om Kub, orang Ternate mulai mengenal “Oto”. Kendaraan beroda empat untuk angkutan umum ini masuk Ternate setelah terminal beroperasi.

Gelora menurutnya juga banyak menggelar pameran, konser musik dan ajang MTQ. Kegiatan-kegiatan yang bikin Ternate kian gemerlap sebagai kota utama di Maluku bagian Utara.

Seingat saya, sejak diresmikan tahun 1975, Gelora Kie Raha baru empat kali mengalami renovasi. Renovasi pertama terjadi pada awal tahun 1980-an atau beberapa saat setelah lapangan dijadikan tempat menggelar tarian kolosal tanda peresmian Kota Administratif Ternate.

Saya ikut dalam yang kolosal itu sebagai penari soya-soya. Tinggi permukaan lapangan dinaikkan. Gundukan tanah dan pasir yang menutupi lapangan tak mengurangi kami bermain bola sambil zig-zag.

Setelah itu Gelora seperti terlupakan meski berbagai kejuaraan sepakbola sepanjang tahun rutin digelar. Tak hanya lokal, beberapa ajang nasional untuk Piala Soeratin juga mampir di sini. Pemain-pemain besar yang menjayakan nama Persiter bergantian lahir.

Pemerintah berganti. Kebijakan berubah. Baru pada tahun 2003, renovasi kedua dilakukan. Tribun terbuka di bagian timur mulai dibangun. Bagian utara dan selatan juga mulai ditata. Yang paling bikin beda adalah pembangunan tower lampu untuk kesiapan pertandingan malam hari.

Saya ingat betul momen ini saat Syamsir Andili, Maluku Utara Thaib Armayin, Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Sarundajang yang sebelumnya jadi pejabat Gubenur Maluku Utara bertemu di salah satu hotel di Kota Manado.

Kala itu, Persiter Ternate tengah berjuang di Divisi 1 PSSI Wilayah Timur. Agar punya peluang besar untuk lolos, Persiter harus jadi tuan rumah. Artinya stadion Gelora Kie Raha mesti memenuhi standar sebagai tuan rumah sebagaimana regulasi PSSI. Salah satunya wajib punya lampu stadion yang memadai.

Diplomasi Ko Syam berbuah manis. Dua Gubenur sepakat turun tangan menyumbang dua tower lengkap dengan lampunya. Sebagai tuan rumah, Ko Syam ikut memberikan satu tower lengkap. Tersisa satu lagi belakangan disumbang pihak swasta yang dipimpin Adam Marsaoly.

Gelora berbenah dan jadi tuan rumah kompetisi Divisi 1 musim 2004-2005. Titik awal yang mengantar Persiter lolos sebagai salah satu tim promosi ke Divisi Utama PSSI.

Sayang kiprah Persiter tak lama. Meski lolos sebagai salah satu Indonesian Super Leaque. Level kompetisi tertinggi dibawah PSSI di tahun 2007, larangan Pemerintah tentang penggunaan APBD untuk sepakbola professional khususnya klausul menggaji pemain asing membuat Persiter mundur.

Seturut itu, sepakbola di Ternate mulai meredup. Gelora tak lagi terurus. Sempat ada sedikit renovasi lapangan di masa pemerintahan Wali Kota Ternate Burhan Abdurahman dan pembangunan tribun yang tak tuntas meski anggarannya bersumber dari APBN, Gelora kian terlupakan. Ketiadaan anggaran pemeliharaan dari APBD jadi pengganjal utama.

17 tahun setelah “menderita”, baru pada awal tahun 2024, PT Mineral Trobos melalui holdingnya PT Malut Maju Sejahtera berkenan melakukan investasi untuk revitalisasi Gelora Kie Raha. Saya sebut revitalisasi–sebuah upaya mengembalikan fungsi sebuah venue olahraga, karena nyaris semua struktur dibenahi dengan biaya besar.

Bermula dari dukungan Pemerintah Kota Ternate yang menyetujui klausul kerjasama, revitalisasi Gelora Kie Raha dengan semua aspeknya untuk memenuhi standar PSSI dikerjakan dalam kurun waktu enam bulan. Puluhan miliar rupiah habis terpakai. Murni bersumber dari ketulusan hati owner Malut United.

Stadion ini adalah bagian vital dari upaya ‘membawa pulang sepakbola ke kampung halamannya sendiri”. Football Coming Home. Ia jadi semacam panggung besar untuk menghibur warga. Ribuan orang datang untuk menonton.

Ribuan cerita disebar. Kekaguman tak hanya datang dari dalam rumah tapi nyaris satu Indonesia memuji sebagai stadion dengan view terindah. Mungil tapi megah dengan fasilitas terbilang lengkap. Ia jadi rumah Malut United.

Besok lusa stadion ini akan terus dikenang. Tapi seturut itu, ia tak boleh lagi dilupakan. Gelora Kie Raha adalah kebanggaan. Ia identitas yang menyatukan. Ia mesti jadi lakon yang membahagiakan banyak orang karena sepakbola dengan diksi utama Malut United FC bukan sekedar entitas di lapangan hijau.

Ia platform kemanusiaan bermisi sosial yang akan terus ada sampai menyuruh untuk berhenti.

***

 

Penulis : [Asisten Manajer Malut United Football Club (MUFC)]

Tim Radar
Editor
Radar Malut
Reporter