Pilkada tidak lebih dari perayaan tanda yang tidak lain adalah . berhenti sebagai teks, bahasa, simbol yang berseliweran di media sosial.

Demokrasi yang asal kata dari Demos dan kratos (kekuasaan rakyat) telah dikonstruksi agar rakyat dalam berdemokrasi hanya merayakan bahasa, merayakan tanda. Rakyat berada dalam ruang dimana bahasa, simbol, teks digunakan untuk saling serang satu sama lain.

Menurut Roland Barthes, semiotika adalah ilmu yang digunakan untuk mengartikan tanda, dimana bahasa juga merupakan susunan atas tanda-tanda yang memiliki pesan tertentu dari masyarakat.

Lebih jauh, Roland menjelaskan bahwa mekanisme pembentukan tanda melewati dua tingkatan, yakni denotasi dan konotasi. Dua hal ini berangkat dari realitas. Tanda adalah representasi realitas.

Bedasarkan asumsi ini, kita bisa melihat sendiri bagaimana masyarakat Halmahera Tengah begitu bereuforia terlibat aktif dalam bentuk tanda berupa teks, bahasa dan simbol di media sosial facebook dan whatsApp yang berangkat dari realitas adanya kontestasi Pilkada 2024.

Tanda dalam bentuk, teks, bahasa dan simbol itu sebenarnya diproduksi untuk memberikan sinyal politik terhadap lawan maupun kawan. Namun, dalam konteks politik elektoral, penanda dalam bentuk bahasa, simbol dan sebagainya terlepas dari interaksi sosial secara positif.

Hujatan, cacian, justru mewarnai platform media sosial, kepentingan menjadi tujuan yang tak bisa dibendung.

Dewasa ini, dengan kemajuan teknologi dan informasi, platform media sosial menjadi mudah bagi teks, bahasa, simbol berseliweran tanpa ada yang bisa menengahi.

Ruang yang menghidupkan tanda tersebut menjadi tidak rasional, dipenuhi ego, dan ketersinggungan menyeret manusia kedalam kebuasan politik.

Sebenarnya demokrasi telah berhenti sebagai tanda, karena sesungguhnya masyarakat tidak sedang berpartisipasi dalam menentukan pemimpin. Masyarakat hanya mengirimkan bahasa, tanda (yakni suara) yang akan memenangkan para paslon dan mengukuhkan kekuatan para pemodal.

Isu , tercemarnya Sagea, Kobe dan beberapa sungai lainnya. Juga di musim hujan di areal desa merupakan penanda dari realitas sosial masyarakat Halmahera Tengah.

Belum lagi angka kecelakaan tenaga kerja yang cukup tinggi, yang dipermudah, kompensasi karyawan yang tak terbayar juga adalah penanda yang merupakan objek yang terlihat.

Maka sudah seharusnya Pilkada Halmahera Tengah yang tak lebih dari perayaan bahasa itu harus bisa membangun opini, teks, bahasa, simbol yang tidak mengabaikan fakta yang terlihat.

Bahwa calon pemimpin yang terpilih nanti harus bisa bertanggung jawab atas kenyataan suatu wilayah yang dipimpinnya.

 

Penulis: ( dan Pegiat Sastra)

***

Tim Radar
Editor
Radar Malut
Reporter