Kembali terjadi besar yang menerjang sejumlah di Halmahera tengah, sejak akhir pekan lalu menyebabkan kurang lebih 6. 567 penduduk dan ribuan pekerja tambang yang tersebar dibeberapa desa terdampak banjir.

Akibat banjir ini juga menyebabkan ribuan warga mengungsi. Menurut Data Badan Penanggulangan Bencana (BPBD) ada total 1.726 orang pengungsi yang terimbas banjir dan tersebar di sejumlah posko darurat.

Ketinggian air dibeberapa tempat dilaporkan mencapai lebih dari satu meter. Bahkan, akibat banjir ini juga memutuskan akses jalan utama penghubung antar desa. Menurut BNBP, bahwa terjadinya banjir adalah disebabkan adanya intensitas curah hujan yang tinggi.

Sementara menurut BMKG cuaca ekstrim sebagai penyebab bencana banjir. Berdasarkan data dari catatan Walhi Maluku Utara bahwa banjir yang menimpa beberapa desa di Halmahera Tengah bukanlah kali pertama, tetapi telah tercatat terjadi sebanyak 16 kali sejak 2019.

Lantas perlu kita telisik lebih jauh apakah banjir yang terjadi semata-mata murni akibat curah hujan yang tinggi? Tenyata banjir yang terjadi juga tidak bisa lepas dari adanya aktivitas tambang di Halmahera Tengah.

Sebab, sejak adanya tambang mengakibatkan pengalihan fungsi lahan atau deforestasi dan degradasi hutan yang begitu masif. Hal inilah yang mengakibatkan tidak ada lagi pohon yang berfungsi sebagai penyangga ketika hujan dengan intensitas yang tinggi.

Hutan tidak lagi menahan kecepatan air yang bercampur dengan material tanah serta material logam ke wilayah pesisir seperti desa-desa yang terdampak banjir. Menurut analisis Walhi Maluku Utara sejak tahun 2001 keberadaan hutan primer seluas 188.00 hektare atau sekitar 83% areal kawasan Halmahera Tengah.

Tetapi sejak perizinan tambang masuk dan aktivitas pembukaan lahan untuk pertambang nikel hutan mengalami deforestasi seluas 26.100 hektare dan terus meningkat. (mangobaycom).

Kapitalisme Petaka Bagi dan Lingkungan

Perizinan adanya pertambangan di Maluku Utara atas nama investasi memang lagi masif-masif diberikan oleh pemerintah melalui sejumlah regulasi yang telah ditetapkan. Atas nama investasi langkah ini pun menjadi legal tanpa mempertimbangkan dampak ke depannya bagi rakyat dan lingkungan.

Tak bisa dipungkiri lagi bahwa investasi menjadi primadona yang senantiasa menggoda para pemangku kebijakan. Investasi dijadikan dalih bagi rezim sebagai solusi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengatasi defisit neraca perdagangan.

Padahal sejatinya investasi ini hanya memberikan keuntungan bagi korporat dan penguasa bukan masyarakat dan bumi. Melalui global SDGs (Suistainable Development Goals) dengan salah satu poinnya yaitu penggunaan energi terbarukan.

Konon melindungi lingkungan dengan pengurangan energi fosil dan mengantikannya dengan energi terbarukan berbahan dasar nikel yang dipandang lebih ramah lingkungan. Atas dasar inilaah mereka lakukan dengan berbagai program seperti di ialah hilirisasi industri nikel.

Justru dengan dalih energi terbarukan yang mereka koar-koarkan disaat yang sama adanya dan industrilah yang menjadi penyumbang kerusakan lingkungan.

Ini menunjukan secara nyata bagaimana kebijakan paradoks pemerintah. Sebab, disaat yang sama mereka justru membuka peluang investasi bagi asing dan aseng melalui regulasi yang ada.

Pembukaan lahan sana sini melalui perizinan tambang tidak bisa lepas dari paradigma sistem kapitalisme. Sistem ini berasas pada pemahaman yang memisahkan peran agama dalam mengatur kehidupan yakni sekularisme, yang darinya pula lahirlah demokrasi yang menjamin kebebasan salah satunya kebebasan kepemilikan.

Kebebasan inilah yang membuka peluang siapapun dapat mengintervensi kepemilikan umum masyarakat. Tanpa memandang batasan yang jelas diantara kepemilikan umum, individu dan negara.

Alhasil, yang memegang kendali adalah para atau sekelompok orang yang memegang kendali untuk kepentingan golongannya.

Sementara itu, para penguasa mereka hanya bersifat sebagai regulator dalam menentukan regulasi untuk memfasilitasi kepentingan mereka dan tuan-tuanya, sementara rakyat dan lingkungan dijadikan sebagai .

Sistem Islam Mensejahterakan dan Melindungi Lingkungan Hidup

Berbeda dengan negara berbasis sistem sekuler-kapitalis. Negara Islam (Khilafah) adalah sistem yang menjadikan aturan Allah sebagai aturan dalam mengatur kehidupan, sehingga segala sesuatu harus berdasarkan syariat Islam.

Dalam negara Islam, sumber daya alam adalah kepemilikan umum yang wajib dikelola negara dan hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat, dan SDA negara tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun, karena hukumnya haram dalam Islam.

Islam telah memetakan batasan kepemilikan yang jelas bagi individu, umum dan negara. Rasulullah SAW. bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Selain itu, menjaga lingkungan adalah hal yang wajib sebagai anugerah yang diamanahkan Allah SWT ditangan umat manusia dan harus dirawat dan dilindungi bukan dieksploitasi, dilukai dan dihancurkan.

Allah SWT berfirman: “Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi“.

Mereka berkata: “Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji engkau dan mensucikan engkau?” Allah berfirman “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah: 30).

Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada oarang-orang yang berbuat baik.’ (QS. Al-A’raf 7:56).

Begitu juga dengan paradigma negara dalam membangun perindustrian adalah bahwa dalam negara Islam untuk melindungi dan memelihara jiwa, akal, agama, nasab, harta, kemuliaan, keamanan, dan negara adalah wajib.

Karena itu seluruh perindustrian akan disinergikan untuk mewujudkan apa yang disebut maqashidus syariah. Sehingga perindustrian dikembangkan agar ekonomi berputar dan menjaga maqashidus syariah.

Ajaran Islam juga memberikan pemecahan permasalahan dengan mempertimbangkan aspek nilai spiritual, kemanusiaan, moral, dan materi. Islam mengatur nila-nilai ini dengan cara yang selaras dalam mewujudkan seluruh nilai-nilai tersebut.

Oleh karena itu, nilai material tidak diprioritaskan di atas niali-nilai lain melainkan semuanya terkordinasi dengan baik. Kemajuan materi dan pertumbuhan yang diperoleh dengan mengorbankan alam, tidak akan pernah bisa menjadi kriteria yang tepat untuk masyarakat adil yang benar.

Sudah seharusnya ummat Islam kembali kepada ideologi Islam sebagi jalan hidupnya, menjadikannya sebagai solusi atas segala persoalan yang terjadi termasuk masalah kerusakan manusia dan lingkungan. Sebab, berharap pada sistem selainnya adalah semu. Wallahu’alam…

 

Penulis: Khaizuran

***

Haerudin Muhammad
Editor
Radar Malut
Reporter