Radarmalut.com – Kejaksaan Negeri (Kejari) Ternate pernah melakukan penyelidikan penggunaan dana hibah tahun 2019 yang melekat di dua lembaga penyelenggara Pemilu. Namun hasilnya sampai sekarang tak terdengar lagi, sehingga dugaannya terjadi kongkalikong atau disembunyi-sembunyikan dari publik.

Hibah miliaran rupiah yang bersumber dari APBD itu dalam realisasinya ditengarai adanya praktik penyalahgunaan, baik dari Bawaslu maupun KPU Ternate. Kejari kemudian diminta agar terbuka mengusut skandal yang melibatkan pimpinan pada kedua lembaga tersebut.

Ketua LBH Ansor Ternate, Zulfikran Bailussy mengungkapkan, lambannya penanganan dugaan penyalahgunaan dana hibah dari Pemerintah Kota Ternate tahun anggaran 2019 yang diberikan kepada KPU sebesar Rp 2,7 miliar dan Bawaslu Ternate berkisar Rp 1 miliar.

Menurutnya, publik hingga kini tidak memperoleh kejelasan proses hukum di Kejari Ternate terkait status penyelidikan kasus. Padahal, informasinya tinggal menunggu audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Maluku Utara.

“Kejari Ternate pernah menyatakan sudah melakukan penyelidikan, bahkan menunggu hasil audit investigasi BPKP. Namun hingga kini tidak ada kepastian lanjutan, berbeda dengan kasus hibah di KONI Ternate tahun anggaran 2018-2019 yang sudah masuk penetapan tersangka,” jelasnya, Jumat (26/9/2025).

Zulfikran mengatakan, penundaan kasus oleh Kejari menimbulkan spekulasi negatif bahwa seolah ada keberpihakan atau intervensi politik dalam proses hukum. Mestinya siapa pun dalam tindakannya merugikan keuangan negara harus mempertanggungjawabkan.

“Kami ingatkan kepada pihak Kejari tidak boleh tebang pilih. Semua penerima hibah wajib diperiksa secara transparan, termasuk KPU dan Bawaslu. Jika ada unsur kerugian negara, harus segera ditingkatkan ke tahap penyidikan,” bebernya.

Zulfikran menuturkan, berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 joncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, setiap penyalahgunaan kewenangan, penyalahgunaan anggaran, atau perbuatan yang merugikan keuangan negara adalah tindak pidana korupsi.

Selain itu, Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI joncto UU Nomor 11 Tahun 2021 memberikan kewenangan penuh kepada jaksa untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu, termasuk korupsi.

“BPKP hanya berperan membantu melalui audit investigasi. Namun hasil audit tidak boleh dijadikan alasan berlarut-larut. KUHAP pun mengatur penyelidikan dan penyidikan harus dilakukan secara cepat dan sederhana. Jika berlama-lama tanpa kepastian, itu melanggar asas peradilan yang jujur dan adil,” katanya.

Zulfikran menyebut, Kejari harus menyampaikan perkembangan resmi status penyelidikan dugaan korupsi dana hibah di internal KPU dan Bawaslu tahun 2019 serta memperluas pemeriksaan dengan memanggil pihak penerima hibah, yakni bendahara, hingga pejabat Pemkot terkait pencairan.

Lebih lanjut, menjamin tidak ada praktik suap atau penghentian diam-diam yang dapat mencederai rasa keadilan publik, apabila terbukti ada unsur kerugian negara maka segera menetapkan tersangka sebagaimana yang sudah dilakukan dalam kasus hibah di KONI.

“Masyarakat Kota Ternate berhak tahu bagaimana uang mereka dikelola, jangan ada standar ganda. Kami akan terus mengawal kasus ini dan siap melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jika Kejari tidak menuntaskan,” imbih Zulfikran.

***

Haerudin Muhammad
Editor