Radarmalut.com – Di sebuah kecil nan bernama , Maba Selatan, Halmahera Timur, ada kisah tak biasa muncul dari balik acara sakral yang mestinya hanya dihiasi kebahagiaan. Hari itu, dua telah melangsungkan sederhana.

Acara yang dihadiri sanak keluarga, teman dan para tamu undangan itu juga kebetulan diramaikan oleh kehadiran beberapa pejabat di daerah tersebut.

Namun siapa sangka, dari pelaminan itu justru lahir curahan hati menggugah tentang yang sudah lama mati, tentang janji-janji yang mengambang, dan harapan yang bertahun-tahun dipendam dalam diam.

Setelah akad nikah, suasana mulai hangat dengan tawa dan obrolan ringan, seorang tetua adat juga tokoh masyarakat di Peteley mendekati petinggi daerah setempat, dengan senyum ramah, tapi suara yang sarat makna, ia mulai membuka cerita.

“Pak, di desa kami ini, tower di Desa Loleolamo sudah menikah dengan tower di Bicoli. Dari pernikahan itu, lahirlah seorang ,” kata tetua dengan tatapan mengintai semua orang yang hadir.

Ia lalu melanjutkan. “Anak mereka kini tinggal di Waci dan Peteley. Tapi kasihan, anak itu menderita stunting. Sudah hampir tiga tahun usianya, namun dia belum bisa mendengar. Kami bicara, dia diam. Kami bertanya, dia tak menjawab.”

Nampak petinggi pejabat tersebut menyimak serius, namun berlahan diam tanpa sepatah kata. Matanya berkaca-kaca mendengar bagaimana warga menyamarkan kritik mereka dalam bentuk cerita dongeng. halus soal kondisi sinyal telkomsel yang belum layak.

Di balik humor dan kearifan lokal yang ringan, tersimpan nestapa kolektif sebuah desa. Cerita sederhana itu menampar halus, tapi telak.

Ucapan diiringi tawa kecil, tapi tak sedikitpun mengurangi bobot sindiran. Warga lainnya mendengar nampak tersenyum getir, karena mereka tahu ini bukan kisah tentang manusia tapi tentang jaringan telekomunikasi yang tak kunjung membaik.