Radarmalut.com – Kini nelayan tuna di Pulau Morotai, Maluku Utara, serba salah menghadapi kebijakan dengan pemberlakuan sistem sortir dari PT Harta Samudra yang semakin ketat dan ada batasan kuota ikan. Sementara pendapatan untuk menutupi biaya operasional tidak sebanding.
Salah satu nelayan Kecamatan Morotai Utara, In Seng (40) mengatakan, sedang menghadapi beban berat akibat kenaikan harga BBM dan anjloknya harga ikan. Masalah diperparah dengan perubahan sistem seleksi oleh perusahaan pengolahan ikan tuna.
In menyebut, dahulu, proses sortir dilakukan langsung di lokasi oleh pihak supplier. Namun, saat ini ikan harus dibawa ke perusahaan yang berjarak sekitar 50 kilometer, maka akibatnya kualitas ikan menurun selama perjalanan. Apalagi, angkutan yang digunakan hanya pikap.
“Dari titik awal menuju perusahaan memakan 1 sampai 2 jam perjalanan. Dan setibanya di perusahaan, ikan masih harus menunggu antrean sebelum disortir,” ujarnya kepada radarmalut, Senin (25/8/2025).
Pria masa paruh baya ini menjelaskan, ketika musim tuna dengan hasil tangkapan tinggi, perusahaan justru membatasi pengambilan. PT Harta Samudra cuma mampu menerima 3 hingga 4 ekor per nelayan melalui masing-masing supplier.
“Jika nelayan mendapat hasil tangkapan lebih banyak, hanya sebagian yang bisa diantar, sisanya baru dikirim keesokan harinya. Hal ini tentu merugikan nelayan karena kualitas ikan menurun dan tentu harganya pun ikut jatuh,” paparnya.
“Biaya operasional juga semakin berat. Untuk sekali melaut, nelayan memerlukan sekitar 50 liter BBM, yang biasanya ditutup dari hasil tangkapan,” sambungnya.
In mengungkapkan, ikan diperkirakan tidak memenuhi standar dihargai Rp14.000 ribu per kilo. Sedangkan 30 up kini dibanderol Rp37.000 ribu, padahal sebelumnya mencapai Rp40.000-50.000 ribu dan 20 up berada diharga Rp26.000 ribu.
“Ini jelas tidak mampu menutupi biaya bahan bakar minyak yang kami keluarkan,” tandasnya.
***