Di sepanjang garis pantai Teluk Kao, dari utara ke selatan. Kehidupan masyarakat lokal masih diwarnai oleh tradisi dan kepercayaan yang telah berakar ratusan tahun. Di tengah dunia yang terus berubah, masyarakat Kao Raya tetap memegang teguh nilai-nilai religius, solidaritas komunal, dan rasa saling menjaga antarwarga.
Mereka hidup dalam bingkai adat dan spiritualitas, yang bukan hanya menjadi warisan, tapi juga pegangan hidup sehari-hari. Kawasan ini tak hanya penting secara budaya. Sejarah mencatat, Kao Raya pernah menjadi salah satu titik strategis dalam Perang Dunia II, ketika kekuatan global berebut kendali atas Pasifik.
Dalam catatan kolonial Belanda, sejak abad ke-19 wilayah Halmahera Utara telah menjadi incaran, karena kekayaan rempah-rempah dan posisinya yang menghubungkan jalur pelayaran timur Indonesia. Namun, puncak ketegangan terjadi saat Jepang dan Amerika Serikat menjadikan Kao dan Morotai sebagai medan tempur pada awal 1940-an.
Pada tahun 1941, Jepang masuk dengan kekuatan penuh ke kawasan ini. Morotai dan Kao dijadikan basis militer untuk menyokong ambisi mereka menguasai Asia Tenggara. Dari wilayah inilah, tentara Jepang menyebarkan propaganda:–mereka menjatuhkan pamflet dari udara, menyuarakan janji-janji pembebasan Asia dari kolonialisme Barat, dan menyerukan persaudaraan dengan bangsa-bangsa Asia.
Salah satu pamflet, bahkan menggambarkan Jepang bukan sebagai penjajah, melainkan “kakak” yang datang untuk “makan pisang bersama” rakyat Asia Tenggara. Namun, kenyataannya jauh berbeda. Jepang memperlakukan tanah, manusia, dan seluruh alam sebagai milik Kekaisaran Nippon.
Sistem kerja paksa romusha diterapkan–ribuan warga lokal dipaksa bekerja tanpa upah dalam kondisi yang mengenaskan. Situasi ini berubah drastis pada 15 September 1944. Dari geladak kapal perang USS Nashville, Jenderal Douglas MacArthur memimpin Operasi Morotai.
Wilayah pantai dan pedalaman Kao dihujani bom oleh tentara Sekutu. Morotai, dan kawasan sekitarnya, dijadikan titik awal untuk mendesak mundur kekuatan Jepang di Asia. Dalam laporan staf MacArthur bertajuk The Campaigns of MacArthur in the Pacific (1966), ia menyebut keberhasilan operasi ini sebagai langkah strategis untuk “menata masa depan Amerika Serikat dan Indonesia”.
Namun, yang tak tercatat dalam banyak laporan perang adalah jejak-jejak yang ditinggalkan di tanah ini. Reruntuhan bunker, cerita tentang kerja paksa, hingga trauma kolektif masih tersimpan dalam ingatan warga tua di desa-desa Kao.
Di balik lanskap yang kini tenang, Kao Raya menyimpan memori tentang bagaimana sebuah kampung adat bisa menjadi saksi pergulatan ideologi global. Kini, Kao Raya tak hanya dikenal karena sejarah perangnya. Kawasan ini mencerminkan keberagaman Indonesia.
Komunitas etnis seperti Pagu, Modole, Tobelo, Galela, serta pendatang dari Sulawesi, Jawa, Ambon, dan Makeang hidup berdampingan. Perpaduan ini menjadikan Kao sebagai ruang multikultural yang hidup–miniatur Indonesia di timur Nusantara.
Kao Raya dan masa depan Maluku Utara: dari titik pinggiran menuju episentrum pertumbuhan baru
Di balik hening gugusan kampung di Kao Raya, tersimpan potensi yang besar, namun lama terabaikan. Wilayah yang pernah menjadi rebutan kekuatan global–Jepang dan Amerika Serikat pada masa Perang Pasifik, kini masih bergulat dengan status nasionalnya sebagai kawasan 3T, yakni Tertinggal, Terluar, dan Terpinggirkan.
Padahal, kawasan ini menyimpan aset strategis yang bisa menjadi motor pertumbuhan baru di jantung Pulau Halmahera. Kao Raya bukan sekadar batas administratif. Ia adalah simpul sejarah, perlintasan ekonomi, dan ruang sosial yang hidup.
Tetapi hingga kini, kawasan ini masih menghadapi tantangan besar:–kurangnya perhatian dalam desain pembangunan nasional, terbatasnya infrastruktur ekonomi, dan program transmigrasi yang tidak terintegrasi secara inklusif.
Selama ini, program-program pembangunan yang hadir cenderung bersifat top-down, minim partisipasi, dan kurang bersentuhan dengan potensi lokal. Padahal, masyarakat Kao Raya tidak hanya menunggu–mereka juga memiliki gagasan dan harapan.
Salah satunya, menjadikan Kao Raya sebagai Daerah Otonom Baru (DOB) di daratan Halmahera bagian utara. Ini bukan sekadar soal pemekaran, melainkan upaya membuka simpul pertumbuhan ekonomi yang selama ini tersumbat akibat kelemahan tata kelola.
Bila potensi alam dan dukungan masyarakat lokal kita hitung, Kao Raya sudah sangat layak menjadi kabupaten sendiri.
Dalam perspektif pembangunan regional, Kao Raya memiliki ciri khas alami sebagai titik pertumbuhan (growth point). Teori ini menyatakan bahwa aktivitas ekonomi cenderung terpusat pada satu titik lokal, lalu menyebar pengaruhnya ke kawasan sekitar.
Dalam konteks Maluku Utara, kawasan-kawasan seperti Kao, Tobelo, Morotai, Wasile, hingga Weda dan Sofifi memiliki struktur nodal yang saling berhubungan. Jika kebijakan pembangunan diarahkan untuk menguatkan titik-titik pertumbuhan ini, maka kawasan seperti Kao Raya dapat menjadi epicentrum pertumbuhan baru di Maluku Utara.
Apalagi, kawasan tersebut telah memiliki simpul transmigrasi yang bisa dioptimalkan, seperti Desa Doro, Patang, dan Daru yang strategis sebagai jalur distribusi hasil pangan, perikanan, dan peternakan. Dalam pendekatan teori Tempat Sentral, Kao Raya sangat berpeluang menjadi pusat pelayanan sosial-ekonomi bagi daerah-daerah sekitarnya.
Ia berperan sebagai “lumbung” bagi daerah hinterland seperti Halmahera Utara, Galela-Loloda (Galda), Wasile, bahkan Weda. Konsentrasi ekonomi akan memberikan efek aglomerasi–di mana efisiensi, daya tarik investasi, dan kemudahan layanan akan meningkat.
Kemandirian dimulai dari reforma wilayah
Wilayah Kao Raya memiliki distribusi penduduk yang tidak terpusat di satu titik, tapi tersebar merata. Ini menjadi modal besar untuk pengembangan kawasan spesifik sesuai potensi sektoralnya. Di bagian barat, Kecamatan Kao Barat dikenal sebagai lumbung padi.
Sementara Kao Utara berkembang sebagai sentra perikanan. Malifut dan Dum Dum bergerak di sektor pertambangan dan peternakan, sedangkan Teluk Kao mulai menunjukkan potensinya sebagai pusat pertumbuhan baru di wilayah selatan.
Melihat struktur ini, pemekaran Kao Raya bukan hanya soal administrasi, tetapi strategi pembangunan jangka panjang. Kawasan ini bisa dikembangkan menjadi model ketahanan pangan, pusat industri perikanan, dan jalur distribusi logistik antarkabupaten.
Dengan dukungan infrastruktur, regulasi yang ramah investasi, serta teknologi tepat guna, Kao Raya dapat bergerak lebih cepat dibanding wilayah lain di Maluku Utara. Gagasan pemekaran Kabupaten Kao Raya berangkat dari kenyataan, bahwa pembangunan tidak boleh hanya bergantung pada pusat kekuasaan.
Ia juga harus tumbuh dari bawah, dari kesadaran masyarakat, dari potensi lokal, dan dari kebutuhan akan keadilan pembangunan. Kao Raya telah lama menjadi titik pinggir dalam peta nasional. Kini saatnya kawasan ini mengambil peran sebagai titik tengah dalam pembangunan Maluku Utara.
Dengan kolaborasi antara pemerintah daerah, pusat, masyarakat, dan mitra swasta, Kao Raya berpotensi menjadi episentrum pertumbuhan regional. Dari wilayah yang dulu hanya dikenang dalam cerita perang dunia, Kao Raya kini membuka lembar baru sebagai simpul masa depan ekonomi, sosial, dan kultural Maluku Utara.
Kita bukan hanya ingin menjadi kabupaten, tapi menjadi ruang hidup yang mandiri, adil, dan setara. Harapan itu kini tinggal menunggu keputusan politik yang berpihak pada pinggiran.
***
Penulis: Mohammad A. Adam adalah pegiat sosial di Maluku Utara