Kalau kita kembali menelusuri sejarah dari abad-abad silam, kurang lebih dari masa Kerajaan Tidore di abad 16-18, Halmahera Tengah atau waktu itu sering disebut Jazirah Fagogoru negeri Weda, Patani, Maba merupakan wilayah paling strategis secara ekonomi yang dikenal sebagai jalur pengontrolan rempah-rempah.
Leonard Andaya dalam bukunya “Dunia Maluku” menyebutkan pada saat itu di Weda, Patani, Maba menjadi wilayah yang tidak pernah sepi dari konflik kepentingan ekonomi rempah-rempah.
Kurang lebih di tahun 1772 ekspedisi hongi (pengontrolan rempah-rempah) sekaligus politik ekstirpasi, yakni pemusnahan ribuan pohon-pohon pala dilakukan dari wilayah Sagea, Wale, Mesa, Patani, Gebe sampai Wasilei.
Ekspedisi hongi itu dilakukan, dikarenakan orang-orang Weda, Patani, Maba tak mengikuti kebijakan pemerintah kolonial Belanda untuk menjual pala ke VOC dengan harga yang sudah ditentukan. Melainkan mereka menjual pala ke pedagang Tuban, Arab, Cina dan beberapa pedagang Nusantara lainnya.
Secara ekonomi, ini membuat Belanda lewat kongsi dagang VOC mengalami kerugian. Maka, politik ekstirpasi pemusnahan pohon-pohon pala mesti dilakukan untuk mengatur kembali surplus atau keuntungan pasar Eropa.
Tak hanya pemusnahan pohon-pohon pala saja, mereka yang melawan dibunuh, sebagian yang selamat melarikan diri ke dalam hutan. Selanjutnya, ada yang tidak kembali. Tempat tinggal mereka lalu dibakar.
Kampung yang musnah, berlahan kemudian kembali di bangun. Istilah Patani Gamsuni di Patani Selatan diartikan sebagai kampung terbakar, mungkin memiliki kaitan erat dengan sejarah panjang di atas.
Tapi, paling penting dari perdagangan atau ekonomi politik rempah-rempah adalah kebutuhan pasar dunia yang membawa Maluku kearah perubahan besar yang terjadi dalam kurun waktu 1770-1860.
Tanah-tanah yang berpenghasilan pala maupun cengkeh dikuasai penuh oleh Belanda, seperti yang terjadi di Banda. Di tahun-tahun itu juga terjadi perbudakan para perkenier (pemilik kebun).
Para perkenier dalam beberapa catatan sejarah dibawa oleh Belanda ke Maluku dengan tujuan mengelola perkebunan pala untuk monopoli demi menguntungkan VOC dengan pasar-pasar Eropa-nya.
Jadi kapitalis VOC-Belanda melahirkan para majikan perkebunan (perkenier) yang kemudian menciptakan sistem perbudakan guna mendapatkan tenaga kerja (buruh/budak) dipekerjakan di perkebunan pala milik VOC.
VOC dan Ekploitasi Rakyat Fagogoru
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) didirikan pada 20 Maret 1602 memiliki sejarah panjang perbudakan dan penuh darah.
Persekutuan Dagang Hindia Timur ini tak hanya melakukan eksploitasi terhadap rakyat Maluku pada masanya, namun juga melakukan perburuan budak untuk ketersediaan tenaga kerja agar dipekerjakan di perkebunan milik kolonial Belanda seperti di Banda.
Budak-budak dipekerjakan di perkebunan milik Belanda dalam konteks modern saat ini adalah buruh, baik yang dikontrak maupun buruh-buruh kasar di pertambangan.
Rakyat Maluku, terutama di jazirah Fagogoru hampir bisa dikatakan semua perkebunan milik warga di tiap-tiap desa atau negeri adalah milik Belanda, milik VOC. Kebijakan harus diikuti di mana hasil panen dijual ke kolonial dengan harga yang sudah ditentukan, meski harga tersebut jauh dari kata menguntungkan.
Akibat dari monopoli kongsi dagang Belanda (VOC) itu, rakyat Jazirah Fagogoru selalu bermain mata dengan para pedagang luar, misal pedagang Tuban, Arab, Cina, Buton, dan pedagang lainya.
Muridan Widjojo menggambarkan dalam bukunya “Pemberontakan Nuku“, bagaimana orang-orang Halmahera Tengah:–Weda, Patani, Maba mengalami penderitaan akibat tidak sejahtera. Sehingga menjual rempah-rempah berupa hasil pala ke pedagang luar yang lebih menjanjikan ketimbang harus ke Belanda.
Coen Husen Pontoh dalam review buku berjudul: Ours To Master And To Own: Workers’ Control From The Commune To The Present yang ditulis oleh Immanuel Ness dan Dario Azzellini (Ed.), diterbitkan di Indoprogress.
Menjelaskan bahwa eksploitasi dalam proses produksi merupakan hal yang inheren dalam sistem kapitalisme. Atau dengan kata lain, sistem ini hanya akan eksis jika modus eksploitasi (mode of exploitation) itu terus berlangsung.
Sementara, ekonom Alfredo Saad-Filho menegaskan kelas kapitalis harus mengeksploitasi buruh mereka jika ingin tetap berada dalam bisnis ini;–kelas pekerja harus setuju eksploitasi itu agar mereka bisa memenuhi kebutuhan mendesaknya; dan dengan demikian eksploitasi adalah minyak yang menggerakkan produksi dan pertukaran kapitalis.
Berangkat dari perspektif teori keduanya dalam melihat VOC-Belanda melakukan eksploitasi rakyat Jazirah Fagogoru (Maluku) jelas bahwa modus atau mode produksi kelas kapitalis pemilik perkebunan mengeksploitasi rakyat adalah dengan memanfaatkan tenaganya serta regulasi pengaturan harga yang akan melahirkan nilai monopoli keuntungan berlipat untuk pasar-pasar Eropa.
Ketidakberdayaan orang-orang Fagogoru karena keserakahan dari monopoli VOC-Belanda membuat mereka tidak lagi patuh. Warga kemudian secara sembunyi-sembunyi menanam pala jauh ke dalam hutan agar tidak bisa dijangkau oleh kolonial.
Namun tindakan yang dilakukan berlahan diketahui oleh bangsa kulit putih tersebut. Apalagi VOC-Belanda sering mengalami kerugian.
Pada awalnya ekspedisi hongi dilakukan oleh kerajaan dalam mengontrol teritorial kekuasaannya sekaligus mengontrol jalur-jalur rempah yang tidak sepi dari pembajakan, kemudian digunakan kembali oleh VOC-Belanda mengontrol rempah-rempah hingga melakukan politik ekstirpasi demi mengatur keuntungan untuk pasar Eropa agar tidak mengalami surplus demi stabilnya harga pasar.
Ekspedisi itu juga diikuti dengan pembakaran kampung dan pembantaian apabila ada rakyat yang tidak patuh dan melawan. Sejarah mencatat pelayaran hongi atau ekspedisi hongi (Hongitochten) telah melenyapkan sepertiga atau separuhnya populasi rakyat Maluku.
Orang Fagogoru Kembali Dijajah
Kehadiran berbagai perusahaan tambang di bumi Fagogoru lima tahun belakangan ini apakah telah menegaskan warga yang mendiami wilayah tiga negeri, Weda, Patani, Maba menjadi sejahtera ataukah sebaliknya?
Dalam laporan Budi Nurgianto “PSN Bagi Halmahera“, diprediksi 50 ribu hektar hutan alam di Halmahera Tengah terancam hilang. Hal ini akan memperlancar deforestasi hutan Halmahera.
Selain itu, lumpur dari bekas tambang nikel saat ini telah membuat sebagian laut mengalami perubahan warna kecoklatan, dan ini akan mengubah keseimbangan ekologis pesisir di Halmahera Tengah.
Tak hanya itu, debu yang berterbangan dari hasil eksploitasi alam telah merubah wajah beberapa desa di Kecamatan Weda Tengah. Diprediksi akan dirasakan pula oleh warga Kota Weda. Dampak dari limbah debu ini ratusan warga telah mengidap Infeksi Saluran Pernapasan (Ispa).
Bangsa Alifuru sub suku Togutil yang mendiami Hutan Halmahera Tengah dan Hutan Halmahera Timur juga terancam kehilangan tempat tinggal akibat dari pembukaan hutan untuk ekploitasi nikel. Sebagain dari suku Togutil telah keluar dan menempati pesisir lalu ikut merasakan kesulitan ekonomi yang sebelumnya tidak pernah dirasakan saat berada di belantara Hutan Halmahera.
Hilirisasi nikel menjadi program proyek strategis nasional domain kepentingan negara telah mengesampingkan orang-orang lokal yang sebelumnya hidup dari berkebun.
Akumulasi primitif sebagai syarat lahirnya kapital dan sistem kapitalisme menciptakan manusia-manusia bebas yang oleh Marx disebut sebagai kaum proletar yang selanjutnya akan menjadi buruh-buruh murah dipekerjakan di pabrik-pabrik.
Mitos kerja dan mekanisme uang memainkan peran penting menyeret puluhan ribu para pengangguran dan anak-anak muda ke dalam kepentingan hilirisasi nikel di Halmahera Tengah.
Ketika mereka bekerja aturan-aturan mengikat mereka sebagai cara menghisap tenaga untuk kepentingan akumulasi kapital. Aturan baru seperti Undang-undang Omnibuslaw justru membawa pekerja pada sistem perbudakan modern yang jika melanggar akan dipermudah untuk di PHK.
Keberadaan industri tambang nikel di Halmahera Tengah juga menjadi lahan subur para pedagang luar, bisnis-bisnis properti marak, toko-toko di bangun. Orang-orang lokal hanya menjadi penonton dari perputaran ekonomi. Dan, budaya konsumerisme pun tak terelakan.
Akan tetapi yang paling terpenting dari kepentingan hilirisasi nikel di Halmahera Tengah adalah warga lokal telah kehilangan hutan dan tanah, yang menjadi dasar hidup. Hutan dan tanah di kapling warga, dijual ke perusahaan. Begitu juga terjadi penyerobotan lahan oleh perusahaan.
Kini suku Sawai di dataran Weda, Patani, Maba (Jazirah Fagogoru) tengah menghadapi lingkungan baru, lingkungan di mana hubungan sosial produksi adalah menghisap kelas pekerja, dan akumulasi kapital tengah menjadi agenda paling nomor wahid dari modal asing.
***
—–
Penulis: Firmansyah Usman (Anggota Partai Buruh)