“Jangan saja. Belajar!” Begitulah kata ibu kepada anaknya menjelang ujian sekolah dasar. Ibu itu mengira, bahwa kalau kita banyak membaca, kurang belajar. Karena itu semua buku bacaan dan bundel majalah disingkirkan.

Belajar itu bukan membaca novel, majalah, apalagi komik. Ada pendapat komik merusak anak-anak. Padahal, anak siapa di bumi ini yang tak suka komik? Bacaan memberikan kebahagiaan. Pada waktu membaca, kita merasa sendiri, bebas dan tidak terganggu siapapun.

Lain dengan nonton televisi, atau mendengarkan musik bersama-sama. Membaca sukar dilakukan beramai-ramai. Tidak mungkin seribu atau dua ribu orang serentak membaca cerita yang sama. Tetapi kalau nonton film, sepakbola atau konser musik, 200.000 orang pun bisa menjadi satu, kompak di stadion terbuka.

Bangsa Indonesia gemar beramai-ramai. Orang yang suka menyendiri kurang dipuji. Bahkan cenderung diejek, dimarahi, atau ditarik-tarik agar bicara, berkumpul dengan orang lain. Hah! Jangan melamun!.

Begitu bentakan yang sering terdengar. Padahal orang yang dituduh melamun itu justru sedang berpikir keras. Hanya orang gila suka dipersilakan hidup sendiri.

Tabiat umum masyarakat kita memang kurang menghargai hak menyendiri. Apakah ini tidak seyogyanya diubah? Sayang kalau kita hanya pintar bergaul, tapi tak pandai “bersendiri”.

Padahal dalam hidup ini, banyak pekerjaan harus dihadapi sendiri. Baik pekerjaan pribadi maupun yang bersifat sosial. Jarang sekali kita harus mendorong truk mogok atau menggotong rumah berramai-ramai.

Yang sering adalah: makan, minum, sikat gigi, ganti pakaian, gunting kuku, cebok, yang semua harus dibereskan sendiri. Jadi, anak-anak mesti lebih banyak belajar hidup mandiri.

Bukan hanya belajar bergaul. Di depan banyak orang , tidak lebih penting daripada saat kita jauh dari perhatian siapapun. Kebiasaan membaca, mulai tumbuh di sini.

Baca Juga:Benny

Pandai memanfaatkan waktu tatkala sendiri, adalah pangkal hidup sehat dan produktif. Semua lukisan hebat, musik, karya sastra, bahkan -program komputer, penemuan kimia, rumus matematika, fisika, dan dalil-dalil agama yang besar, ditemukan pada saat manusia berada seorang diri.

Memang, kita dekat dengan Tuhan pada waktu bersendiri. Dan untuk banyak hal kemampuan bekerja sendiri seringkali lebih diperlukan.

Untuk dapat bekerja sama. Orang lebih dulu perlu mampu bekerja sendiri. Setelah tahu keahlian individual, kelebihan dan kekurangan masing-masing, orang baru dapat menyumbangkan keahlian.

Bergabung dan bergotong-royong. Kunci kebersamaan yang sehat, adalah unsur pribadi yang kuat. Lemahnya kepribadian orang per orang akan menghasilkan kerumunan yang acapkali destruktif.

Itulah pangkal perkelahian massal, sarana publik, dan tidak adanya tradisi baik yang dapat dilestarikan.

Tentu saja bukan negara yang demikian yang kita bangun. Membaca berarti membentuk kepribadian. Dan kita merindukan bangsa Indonesia yang gemar membaca. Bila semua orang dibebaskan dan mereka merdeka untuk menulis apa saja, buku akan maju dan hidup akan meriah.

Mengapa: sebab kita boleh membaca Salman Rushdie dan tidak takut masuk bila membahas karya Pramoedya Ananta Toer. Orang akan membaca dan menulis apa saja yang mereka suka. Suasananya akan mengasyikkan, gegap gempita, dan makmur sentosa seperti pada tahun 1950-an.

Kata orang yang ingatannya segar, keadaan waktu itu lebih bergairah daripada sekarang. Inflasi sangat rendah, contoh 1956: nol persen. Guru di pinggir hutan pun bisa beli rumah sendiri. Waktu itu kereta api masih jalan, dan penduduk Jawa tak sampai separuh yang ada sekarang.

Jangankan bikin novel dan puisi. Bikin sendiri pun boleh. Pemberontakan memang meletus di sana-sini. Sebabnya? Pemerintah pusat tidak bisa membungkan pembangkang dengan uang.

Memang saat itu belum banyak jalan tol, lapangan golf, dan supermarket. Tetapi murid-murid yang tinggal di Pare dan sekolah di Kediri, bisa langganan kereta api dan banyak membaca sepanjang jalan.

Menurut brosur wisata 1955, kota Malang lebih banyak memiliki toko buku daripada di tahun 1993 ini. Koran dan majalah pun terbit di kota-kota kecil, meskipun dengan oplah kecil. Sampai 1963 pun saya masih bisa mendatangi taman-taman bacaan di tingkat kelurahan.

Pada zaman Belanda kebiasaan membaca (reading habit) masyarakat tampaknya juga lebih baik. Itu sangat jelas, apalagi bila dibandingkan dengan tingkat literasinya yang jauh lebih rendah daripada sekarang.

Meskipun banyak yang buta huruf, Jakarta waktu itu punya bibliotek yang besar dan megah. Gedungnya sekarang dijadikan pusat Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas.

Sampai sepuluh tahun setelah proklamasi (1955) di Indonesia masih banyak terbitan berkala dalam bahasa Belanda, Inggris, Tionghoa, Jawa, Sunda, selain tentu: bahasa Indonesia.

Dilihat dari keragaman bacaan, kebebasan mengarang, dan kemerdekaan membaca, keadaan 20 tahun terakhir ini sangat menyedihkan. Kalau dibandingkan dengan situasi 1950-an, harus diakui terjadi pemiskinan luar biasa.

Dalam dasawarsa 1950-an itu pula, anak-anak Indonesia mendapatkan pengarang-pengarang terbaik. Ramadhan KH, Pramoedya Ananta Toer, WS Rendra, Ajip Rosidi, dan Mochtar Lubis, adalah bintang-bintang warisan dasawarsa yang cemerlang itu.

Apakah minat baca masyarakat saat itu lebih baik daripada sekarang? Rasanya tidak, yang berbeda adalah tradisi membaca di kalangan masyarakat lebih mendapat perhatian.

Kesempatan untuk membaca inilah yang lebih penting, daripada tinggi atau rendahnya minat baca. Kalau anak sampai dimarahi agar tidak terlalu membaca, apa artinya?

Artinya: Banyak bacaan di rumah. Ayah dan ibu punya beberapa almari buku, dan anak-anak ingin tahu semuanya. Sekarang hal itu berbeda. Rumah bisa saja mewah, di real estate supra modern, tapi tanpa selembar pun buku di kamar.

Almari besar-besar penuh cendera mata, uang, dan pecah belah kristal. Tak usah membaca, sebab televisi hidup 24 jam, dengan 300 saluran dan variasinya berkat antena parabola.

Di kalangan masyarakat pun tak ada akses membaca. Pameran buku tahunan diadakan di lapangan sepi. Bayangkan, bekas bandara Kemayoran, yang susah dijangkau, dan jauh dari mana-mana. Harga buku bukan masalah.

Dibandingkan dengan rata-rata novel baru di AS lima belas dollar, novel dan kumpulan esai kita berkisar Rp 10.000,- Sayangnya, gaji minimum tidak mendorong orang berkata bahwa “buku memang murah”.

Angkutan umum tidak dirancang untuk memberi kenyamanan orang membaca. Dan yang lebih parah: kalau salah membaca buku, orang bisa , dipenjara.

Sekarang, kalau benar kita berniat mengembangkan kegemaran membaca, anak harus dibebaskan memilih, memiliki, dan membaca apa saja yang mereka sukai. Arswendo Atmowiloto, pengarang cerita anak anak dan remaja yang populer itu harus dibebaskan menulis selekasnya.

Tidak ada alasan membungkam, apalagi menahan pengarang, selama ia tidak terbukti melakukan kejahatan. Pembreidelan, apa pun dalihnya, bukan saja melecehkan hak asasi manusia, tapi juga menunjukkan kekejaman di antara sesama manusia.

Perhatikan saja, siapakah yang dirugikan dengan adanya pembreidelan? Bukan saja penerbit dan toko buku, tapi nama baik pemerintah serta merta menjadi korban. Memang aneh. Bangsa macam apakah yang berani menindas seniman-senimannya sendiri?

Semoga keadaan ini belum fatal betul. Dan kita yakin masih bisa diperbaiki. Tapi caranya bukan dengan menunggu kekenyalan masyarakat seperti diangankan oleh sejemput birokrat. Bukan dengan menunggu kalau kelak masyarakat sudah pintar, lebih dewasa, dan taraf pendidikannya baik. Bukan.

Masyarakat hanya bisa dewasa dan lebih pintar, bila ada semangat dan kebebasan merombak, mendidik, mengritik, dan mengembangkan mereka dengan sebaik-baiknya.

Kalau para pemimpin, cendekiawan, dan seniman tidak bebas berpikir dan bertindak benar, jangan harap masyarakat akan jadi lebih baik dengan sendirinya.

——

Penulis: Eka Budianta

Catatan: Tulisan ini pernah diterbitkan di Majalah Tiara, Nomor 90, Tanggal 24 Oktober 1993 dan disalin ulang oleh Herry Anggoro Djatmiko.

***

Tim Radar
Editor
Radar Malut
Reporter