Dalam politik, namanya dinamika adalah sesuatu yang tak terhindari. Dan, tantangannya ialah bagaimana para pelaku bisa menghadapi perubahan ini dengan bijak, menjaga keseimbangan antara pengalaman dan inovasi maupun memanfaatkan momentum untuk kemaslahatan lebih besar.
Pilkada 2024 di Maluku Utara menghadirkan dinamika politik yang menarik dalam tubuh Partai Golkar. Partai yang selama ini dikenal dengan kekuatan sejumlah sosok, kini mulai mengalami pergeseran signifikan.
Dua nama besar, yakni Ahmad Hidayat Mus (AHM) dan Edi Langkara (Elang), yang selama ini menjadi pilar kekuatan partai, mulai tersingkir dari panggung utama. Fenomena ini mencerminkan suatu perombakan internal di Golkar, perubahan strategi partai dalam menghadapi pemilihan yang semakin kompetitif.
Keputusan DPP Partai Golkar untuk tidak memberikan rekomendasi kepada AHM dalam Pilgub Maluku Utara 2024 mengejutkan banyak pihak. AHM, yang dikenal sebagai salah satu tokoh berpengaruh di Golkar, harus menerima kenyataan bahwa posisinya mulai tergeser.
Lebih mengejutkan lagi, DPP justru memberikan dukungan kepada adiknya, Aliong Mus, untuk maju bertarung dalam pemilihan Gubernur. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan besar:–apakah Golkar mulai mengalihkan dukungan dari tokoh-tokoh seniornya kepada generasi yang lebih muda?
Tidak hanya AHM. Edi Langkara, politikus senior Golkar lainnya yang telah lama menjadi figur penting, juga mengalami nasib serupa. Golkar memilih untuk tidak memberikan rekomendasi kepada Elang untuk maju sebagai calon Bupati Halmahera Tengah.
Sebaliknya, partai ini lebih memilih Ikram Malan Sangadji, sosok yang bukan kader Golkar. Keputusan ini pun menunjukkan bahwa Golkar mungkin sedang mencari sesuatu yang baru atau ingin keluar dari bayang-bayang para tokoh lama yang telah mendominasi selama ini.
Bagi AHM dan Elang, keputusan DPP tentu merupakan pukulan berat. Setelah bertahun-tahun mengabdi dan membangun basis kekuatan di Golkar, mereka kini harus menyaksikan posisinya tergantikan oleh figur yang lebih muda atau bahkan orang eks partai.
Pergeseran ini tidak hanya berdampak pada level personal, tetapi juga mencerminkan perubahan signifikan dalam strategi politik Golkar sebagai sebuah organisasi. Partai yang selama ini dikenal kekuatan solidariatnya tampak berani mengambil langkah untuk memperbarui diri.
Pertanyaannya, mengapa Golkar mengambil langkah sikap ini? Salah satu alasan yang mungkin adalah upaya untuk menjaga relevansi di tengah perubahan demografi pemilih. Diera dimana pemilih muda memiliki pengaruh besar.
Figur Lama Tersingkir
Golkar mungkin merasa perlu untuk menampilkan figur-figur yang lebih segar dan dekat dengan aspirasi generasi milenial dan Gen Z. Tokoh-tokoh lama yang selama ini menjadi simbol kekuatan partai mungkin dianggap tidak lagi cukup efektif untuk menghadapi tantangan politik yang semakin kompleks dan dinamis.
Selain itu, langkah ini bisa dilihat sebagai upaya Golkar untuk menghindari stagnasi. Terlalu lama bergantung pada tokoh-tokoh senior mungkin dapat membuat partai kehilangan fleksibilitas dan sulit beradaptasi dengan perubahan yang cepat.
Dengan memberikan ruang kepada generasi baru atau bahkan tokoh-tokoh dari luar partai, Golkar mungkin berharap dapat menyuntikkan ide-ide baru, strategi baru, dan energi baru yang diperlukan untuk memenangkan persaingan politik di masa depan.
Namun, perubahan ini tidak datang tanpa risiko. Menggugurkan ‘daun-daun tua’ yang sudah berakar kuat bisa menimbulkan ketidakstabilan dalam tubuh partai. Loyalitas kader dan simpatisan yang selama ini terbiasa dengan kepemimpinan tokoh-tokoh senior bisa terguncang.
Konflik internal juga bisa saja muncul, terutama jika mereka yang tersingkir merasa tidak puas dan memutuskan untuk melawan atau bahkan keluar dari partai, seperti yang terlihat pada Edi Langkara.
Langkah Edi Langkara untuk bergabung dengan PDI Perjuangan merupakan contoh nyata dari potensi konflik ini. Keputusan Elang untuk berpindah ke partai besutan Megawati Soekarnoputri bukan hanya sekadar perpindahan politik, namun juga sinyal bahwa Golkar mungkin sedang menghadapi tantangan besar di internalnya.
Jika lebih banyak tokoh senior yang merasa terpinggirkan dan memilih untuk keluar, maka Golkar bisa kehilangan fondasi kuat yang selama ini telah mereka bangun dengan susah payah.
Sementara itu, AHM yang hingga saat ini belum memberikan keputusan mengenai langkah politiknya, juga patut dicermati. Apakah dia akan menerima keputusan partai dengan lapang dada, ataukah akan memilih jalur independen atau bahkan bergabung dengan partai lain?
Bagaimanapun, AHM masih memiliki pengaruh yang signifikan, terutama di kalangan pemilih tradisional Golkar. Jika dia memutuskan untuk keluar dari Golkar, ini bisa menjadi ancaman serius bagi internal partai.
Sikap DPP Golkar untuk mendukung Aliong Mus pun membuka perdebatan mengenai arah baru yang sedang diambil oleh partai. Meski sama-sama berasal dari keluarga besar Mus, Aliong dianggap lebih sesuai dengan strategi partai saat ini.
Apakah ini berarti bahwa Golkar mulai mengutamakan generasi muda di atas pengalaman dan rekam jejak politik? Jika ya, maka partai ini harus berhati-hati agar tidak kehilangan jati diri yang selama ini menjadi fondasi kekuatan mereka.
Regenerasi di tubuh partai memang merupakan hal yang penting, tetapi harus dilakukan dengan hati-hati. Golkar yang selama ini dikenal dengan kekuatan politik yang mapan, mesti memastikan bahwa perubahan yang terjadi tidak menyebabkan keretakan yang bisa melemahkan partai.
Jika pergeseran tersebut bisa dikelola dengan baik, maka Golkar mungkin dapat tetap relevan dan kuat di masa akan datang. Namun, jika tidak, kita mungkin akan menyaksikan penurunan kekuatan partai ini di kanca politik Indonesia, khususnya di Maluku Utara.
Pada akhirnya, apa yang terjadi di Golkar adalah cerminan dari dinamika politik yang lebih luas di Indonesia. Ketika generasi baru mulai mengambil alih, generasi tua harus bersiap untuk beradaptasi atau mundur.
Penulis: Muhammad Haliun (Jurnalis dan Pegiat Lingkungan)
Tinggalkan Balasan