Dalam beberapa bulan ini dinamika politik di Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng) telah menyita perhatian publik Maluku Utara. Adapun, bahwa setiap menit atau jam, platform grup Facebook Nuansa Halmahera Tengah terus dipantau, karena menjadi corong informasi.
Tak tanggung-tanggung, informasi Jakarta pun bisa diketahui. Tidak bisa dipungkiri, kontestasi Pilkada Halteng bukan hanya sekedar mencari pemimpin, tetapi lebih dari itu ada motivasi, hasrat dan, atau kehendak untuk berkuasa.
Itu bisa dilihat dari hampir semua elit yang memainkan peran penting. Bolak-balik Jakarta untuk memastikan rekomendasi partai politik.
Hal yang lumrah dalam politik adalah kehendak untuk berkuasa, setiap calon atau individu dalam pesta demokrasi, yakni Pemilu dan Pilkada didorong secara naluri untuk berkuasa sebagaimana sudah dijelaskan panjang lebar oleh Sigmund Freud, seorang pemikir di awal abad ke-20.
Apa itu Kehendak untuk Berkuasa?
Filsuf Jerman abad ke-19 Friedrich Nietzsche memberikan konsep politik mengenai ‘kehendak untuk berkuasa’ (The Will to Power). Ini menjadi dasar paling fundamental atas tindakan manusia.
Nietzsche berkata, kehendak untuk berkuasa tidak secara inheren baik atau buruk. Ini merupakan dorongan dasar yang ada di setiap orang, yang bisa diwujudkan dalam berbagai cara. Para filsuf dan ilmuwan menggunakannya untuk mencari kebenaran, seniman untuk menciptakan, dan pengusaha untuk memperkaya diri.
Lebih lanjut, juga menjelaskan bahwa segala bentuk kehidupan memiliki usaha untuk menegaskan keberadaannya melalui dominasi dan pengaruh. Itulah dorongan utama individu atau kelompok elit untuk mengejar, mempertahankan, serta memperluas kekuasaan.
Pada kontestasi politik ada elit politik, ada elit ekonomi, elit budaya dan elit keagamaan juga memiliki tujuan yang sama, yakni dominasi, kekuasaan dan nilai serta pengaruh ke masyarakat.
Elit politik dalam pandangan Nietzsche ‘The Will to Power’ memiliki motivasi berkuasa sebagai dorongan utama dalam kontestasi politik untuk merebut atau mempertahankan struktur pemerintahan yang ada.
Kita bisa juga membenarkan tesis Strukturasi dari Antony Giddens;–struktur bukanlah entitas yang sepenuhnya terpisah dan mengendalikan individu, melainkan struktur dibentuk dan dipertahankan oleh tindakan individu demi tujuan berkuasa.
Melalui kehendak untuk berkuasa, kita juga bisa melihat bagaimana kekuasaan hari ini menggunakan kebijakan, media, dan serta strategi untuk memperkuat posisi mereka dalam melemahkan lawan-lawan politik.
Sedang elit ekonomi, dalam pandangan Nietzsche, mereka adalah para pengusaha, oligarki (termasuk) dan kapitalis, maka dalam konsepnya the will to power juga memiliki kehendak untuk berkuasa. Apa yang menjadi dorongan mereka adalah memperluas pengaruh ekonomi, memperbesar keuntungan bisnis dan penguasaan pasar, termasuk melakukan lobi-lobi politik.
Jadi tidak mengherankan kalau kontestasi Pilkada Halteng juga tidak luput dari aliansi politik antara elit politik dan elit ekonomi dalam dorongan kehendak untuk berkuasa demi tujuan mereka masing-masing.
Justru yang dikhawatirkan Nietzsche kekuasaan yang demikian akan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Lalu bagaimana dengan elit budaya dan elit keagamaan, tentunya kehendak untuk berkuasa juga dimiliki oleh mereka selaku individu.
Elit budaya dan elit keagamaan bekerja menciptakan nilai melalui opini publik, mendukung atau memblejeti kebijakan dan juga menciptakan ruang atau membentuk ruang berfikir masyarakat. Semua ini menurut Friedrich Nietzsche adalah kehendak untuk berkuasa.
Saya akhiri tulisan singkat ini, untuk kontestasi politik pada Pilkada Halteng 2024. Silakan menilai baik buruknya…
Penulis: Firmansyah Usman (Jurnalis dan Pegiat Sastra)
***
Tinggalkan Balasan