Radarmalut.com – Pihak apotek menanggapi keluhan masyarakat Pulau Morotai, Maluku Utara, merasa kesulitan mendapatkan obat antibiotik seperti ampicillin dan amoxicillin tanpa adanya resep dokter. Pembatasan penjualan tersebut merupakan aturan resmi yang wajib dipatuhi oleh setiap toko obat.
Pemilik Apotik Sejahtera Ramadan Latif menjelaskan, antibiotik digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan harus diresepkan oleh dokter sesuai dengan gejala pasien. Sehingga tidak dijual secara bebas.
Menurutnya, selama ini banyak masyarakat terbiasa membeli antibiotik untuk berbagai keluhan, namun tidak mengetahui pasti penyebab penyakitnya. Padahal, tidak semua penyakit disebabkan oleh bakteri.
“Kalau salah penggunaan, bakteri bisa menjadi kebal terhadap obat. Itulah yang ingin dicegah. Misalnya batuk atau nyeri tubuh, dokter biasanya memberikan obat seperti paracetamol, ibuprofen, atau mefinal (asam mefenamat,red), bukan antibiotik,” ujarnya, Jumat (15/8/2025).
Ramadan menuturkan, peraturannya selaras dengan ketentuan yang termuat dalam Permenkes Nomor 28 Tahun 2021 tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik. Dijelaskan penggunaan antibiotik harus berdasarkan resep dokter.
Sementara di Morotai diatur dalam Surat Edaran Bupati bernomor: 100.3.4.2/36/PM/VI/2025 tentang Pengendalian Peredaran Antibiotik dan Obat Keras Tanpa Resep Dokter di Wilayah Kabupaten Pulau Morotai. Aturan tersebut baru dijalankan dan dipatuhi oleh seluruh apotik pada awal Agustus 2025.
“Resep dokter di Morotai, justru jarang ditemukan permintaan untuk ampicillin atau amoxicillin. Dokter lebih sering meresepkan antibiotik lain seperti cefixime, clindamycin, Amoxan (merek dagang amoxicillin), atau cefadroxil. Karena itu, Apotik Sejahtera bahkan belum menyediakan stok kedua obat itu,” jelasnya.
Ramadan berharap Dinas Kesehatan (Dinkes) Pulau Morotai dan BPOM mensosialisasi terkait bahaya resistensi antimikroba dan aturan penggunaan antibiotik. Dikatakanya, sebaiknya tidak hanya menyasar tenaga apotek, tetapi juga melibatkan pemerintah desa, masyarakat, tokoh agama, kepala pemuda, hingga tokoh perempuan.
”Kalau masyarakat paham, kami sebagai penjual obat bisa lebih mudah menjalankan aturannya. Selama ini, ada pembeli yang sampai marah atau mengamuk ketika diberitahu obatnya kosong atau harus pakai resep dokter,” ungkapnya.
Sebagai langkah antisipasi, pihak apotek bahkan memilih untuk tidak menyediakan antibiotik tertentu agar menghindari potensi konflik dengan pembeli. “Demi kebaikan bersama. Aturan ini untuk melindungi kesehatan masyarakat, bukan mempersulit,” pungkasnya.
***
