Perlawanan warga di Halmahera Timur terhadap perusahaan tambang nikel yang terkesan semena-mena mengalami eskalasi. Perampasan lahan jadi pemicu atas konflik yang tak berkesudahan itu.
Di wilayah tanah adat Desa Wayamli, Kecamatan Maba, terjadi ketegangan antara warga dan PT Sambaki Tambang Sentosa (STS). Dari foto yang beredar, 15 orang warga berpose di depan spanduk bertuliskan ‘Boikot PT STS di wilayah adat Gimalaha Wayamli.’
Spanduk itu terbentang di kawasan konsesi STS dengan latar belakang gundukan tanah. Perusahaan diduga mencaplok-membongkar habis tanah adat dengan luas sekitar 25 hektare.
Pekan lalu, dua orang ahli waris bernama H. Kader H. Taher dan Harun Moh Saleh terlibat adu mulut hingga nyaris baku pukul dengan karyawan STS. Lahan perkebunan kelapa milik mereka di pesisir Dusun Memeli, Desa Pekaulang, Kecamatan Maba, dibongkar habis oleh perusahaan.
Penyebabnya, lokasi yang dikenal sebagai dusun kelapa itu dijual oleh warga Desa Buli Karya inisial YK ke STS. YK disebut secara diam-diam membuat sertifikat hak milik.
Praktik penguasaan lahan itu dilakukan tertutup. Hampir tak ada sosialisasi. Warga Desa Pekaulang inisial DM, yang diketahui memiliki jabatan eksternal di STS, disebut mendatangi setiap rumah warga untuk negosiasi.
Kabarnya, Kader dan Harun sempat ditawarkan Rp 5.000, Rp 8.000, hingga Rp 10.000 permeter. Keduanya menolak. Tapi STS tetap ngotot melanjutkan proyek pembangunan jetty serta area penampungan ore nikel di lahan itu.
Sore kemarin, aktivitas STS di Dusun Memeli dihentikan Dinas Lingkungan Hidup Halmahera Timur. Belakangan baru diketahui kalau proyek jettynya tak dilengkapi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL).
STS sendiri memiliki lahan konsesi seluas 4.480 hektare. Perusahaan memperoleh izin dari Bupati Halmahera Timur, Welhelmus Tahalele (2005-2010) pada 7 Desember 2009 dan berakhir pada 7 Desember 2029.
Di Kecamatan Kota Maba, 11 orang warga Desa Maba Sangaji dilaporkan oleh pihak PT Position. Mereka diperkarakan oleh Ansorie Pariadie dengan aduan “perampasan kunci alat berat yang mengakibatkan terhentinya aktivitas operasional perusahaan.’
Pelaporan itu bermula ketika puluhan warga mendatangi kawasan pertambangan Position di wilayah hutan Maba Sangaji pada 18 April 2025. Mereka menghentikan aktivitas perusahaan dengan menahan kunci alat berat yang sedang dioperasikan.
Aksi cegat itu dipicu dugaan penyerobotan lahan warga yang dilakukan oleh Position sejak November 2024. Warga juga dibuat marah ketika menyaksikan wilayah hutan Maba Sangaji seluas 700 hektare dibabat habis. Kawasan perbukitan yang sebelumnya adalah hutan lebat, kini jadi gundul.
Bahkan sungai Maba Sangaji sebagai induk dari beberapa anak sungai yang selama ini diakses oleh warga, rusak tak terpulihkan. Dari foto yang saya terima, lumpur cokelat kemerahan tampak mengendap di bebatuan hingga dasar sungai.
Dalam laporan simpul JATAM Maluku Utara, 51 persen saham Potition dipegang oleh PT Tanito Harum Nickel sebagai pemegang mayoritas. Sedangkan 49 persen dipegang oleh Nickel International Kapital Pte.Ltd yang berbasis di Singapura.
PT Tanito Harum Nickel merupakan perusahaan yang terafiliasi dengan PT Harum Energi Tbk. Hubungannya sebagai entitas anak tidak langsung. Perusahaan ini milik Kiki Barki, orang terkaya ke-33 dari 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes 2023.
Munculnya gerakan perlawanan warga kali ini akibat dari kekuasaan negara, yang menjadikan tanah sebagai modal pembangunan berbasis eksploitasi dan perampasan. Di masa pemerintahan Joko Widodo, Indonesia adalah hamparan lahan kosong yang hanya dihuni pengusaha. Rakyat dianggap tidak ada. Siapa pun dia, harus menyingkir ketika Jokowi mau bangun proyek berskala nasional (PSN).
Pemenuhan kebutuhan baterai berbasis nikel sebagai ide pokok elektrifikasi kendaraan listrik, menjadikan tanah di Pulau Halmahera diobrak-abrik tanpa ampun. Perburuan mineral nikel dalam skala besar dan serentak, hampir terjadi di sekujur tubuh pulau. Termasuk pada pulau-pulau kecil yang melampaui daya dukung pulau itu sendiri.
Halmahera saat ini sedang menghadapi satu babak penghancuran secara masif dan terencana. Itu dapat dilihat dalam skala ruang dan waktu yang berkali-kali lipat lebih cepat. Kita dapat mengurut satu persatu dari sekian kasus tentang perampasan ruang hidup warga dalam beberapa tahun terakhir.
Karena pertumbuhan ekonomi melalui pembongkaran pulau, maka pemusnahan atas ruang hidup tak bisa dihindari. Maka jalan satu-satunya yang dapat ditempuh oleh warga adalah melawan, sebagai bagian dari upaya bertahan.
Tidak hanya di darat, di laut pun begitu. Seperti yang dilakukan puluhan nelayan dari Desa Momole, Kasuba, Bicoli, Sil, dan Sowoli, Kecamatan Maba Selatan. Mereka melempari dua kapal tugboat yang sedang berlayar di antara Pulau Wor dan Woto dengan batu.
Kapal-kapal itu terpantau menarik tongkang berisi ore nikel ke kawasan industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Weda Tengah, Halmahera Tengah. Lalu-lalang kapal tersebut bikin ikan-ikan jenis pelagis yang hendak dijaring oleh nelayan, menjauh.
Perlawanan tersebut membuktikan bahwa warga tidak diam. Konfrontasi yang dibuat secara keras dan terbuka itu akibat dari tindakan agresif perusahaan yang menguasai ruang hidup warga secara ugal-ugalan.
Sikap warga seperti itu juga dapat dibaca sebagai hasil dari proses pembelajaran atas berbagai tindakan yang dilakukan oleh pengurus negara. Termasuk sebagai upaya defensif melawan kapitalisme yang mengancam keamanan subsistensi masyarakat.
Ia semacam satu pengulangan untuk tetap konsisten di momentum berikutnya. Berkata Agus Mulyanto, perlawanan itu serupa api. Tak habis mesti dibagi. Meskipun mereka tahu, penyelesaian konflik kerap mengandalkan aparat keamanan dengan dalih stabilitas negara. Bahkan tak sedikit yang berakhir ke jalur hukum. Seperti yang dialami tujuh warga Wasile Selatan yang ditetapkan sebagai tersangka setelah melawan PT Wana Kencana Mineral (WKM).
Tapi pola pendekatan seperti itu tidak menyurutkan perlawanan warga. Karena kewenangan dan manajemen yang sentralistik cenderung dikawal oleh birokrasi yang otoriter, manipulatif, dan represif.
Maka dari itu, tindakan perlawanan seperti yang dikobarkan Gimalaha Wayamli dapat dipandang sebagai sebuah gerakan ideologis. Ada semacam garis kosmologi yang konsisten antara masyarakat, adat, dan alam sebagai bagian yang tak terpisahkan.
Orang seperti Gimalaha Wayamli dkk oleh Sidney George Tarrow didefinisikan sebagai kelompok yang memiliki kesadaran diri untuk bertindak, concern mengungkapkan apa yang dilihat sebagai klaim-klaim dengan menentang kelompok elit, penguasa, atau kelompok lain.
Sebab, kerusakan lingkungan yang terjadi di Halmahera hari ini menegasikan manusia sebagai penerima mandat dari Tuhan semesta alam. Padahal Islam sendiri menaruh perhatian besar terhadap lingkungan dalam ayat-ayatnya.
Tuhan bisa saja membiarkan manusia hidup di muka bumi mengelola alam menurut kehendaknya. Tapi nyatanya tidak. Tuhan memahami kekurangan dan sifat dasar manusia yang rakus dan tamak, sehingga manusia diberi modal etis dalam Alquran mengenai hubungan antara manusia dan alam.
Salah satu faktor atas lahirnya krisis lingkungan adalah kecenderungan manusia dalam menafsirkan khalifahtulfil ardh sebagai prinsip dominasi manusia atas bumi dan seisinya. Dalam aspek ekologis, sikap seperti ini memposisikan manusia sebagai subjek utama di bumi dan alam sebagai objek.
Manusia dipandang bukan bagian dari alam, tapi hasil ciptaan Tuhan yang hadir menaklukkan alam. Anggapan seperti itu mengisyaratkan manusia bisa melegitimasi agenda eksploitasi terhadap alam dengan dalih perwujudan kehendak Tuhan atas dasar menguasai dan menaklukkan.
Padahal manusia pada hakikatnya bukan makhluk yang bergantung pada alam, tapi menjadi faktor penentu atas keberlangsungan alam. Ketika banjir besar melanda bumi di masa Nabi Nuh Alaihissalam, Tuhan memerintahkan sang Nabi dan pengikutnya mengumpulkan seluruh hewan secara berpasang-pasangan. Dalam kacamata ekologis, pengumpulan hewan secara berpasangan dipandang sebagai agenda keberlanjutan (sustainable).
Tapi relasi Islam dengan lingkungan seakan sukar ditemui dalam wacana sehari-hari. Kita nyaris tidak menemukan keselarasan manusia dan alam dalam agenda-agenda keagamaan. Persoalan lingkungan seakan bukan satu persoalan serius dibanding perdebatan antara surga dan neraka.
Tidak ada yang melakukan protes keras pada tiap-tiap bentuk perusakan lingkungan oleh perusahaan-perusahaan ekstraktif besar yang terus beroperasi atas nama pembangunan. Pohon-pohon ditebang, daging pulau dicabik-cabik, masyarakat adat tersingkir. Nyaris semua elemen hingga pemangku kepentingan apalagi, lebih senang cari aman, juga cari panggung.
***
Penulis merupakan seorang jurnalis dan pegiat lingkungan.