Radarmalut.com – Lima rumah di Kelurahan Kalumata dijadwalkan tanggal 6 Mei 2024 oleh Pengadilan Negeri (PN) Ternate bakal dilakukan eksekusi. Hal ini berdasarkan gugatan yang dimenangkan oleh pihak Juharno pada 2016 silam.
Melalui surat yang dikeluarkan tertanggal 29 April dengan nomor 34/Pdt.G/2017 PN Ternate. Kelima rumah tersebut berdiri di atas sebidang tanah seluas 1,5 hektare di RT 008/RT 003 di Kalumata, Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate, Maluku Utara.
Diketahui, beberapa kali konstatering atau pencocokan objek oleh PN Ternate diawal 2023 mendapat penolakan dari warga setempat, mahasiswa dan kesultanan. Mereka menilai tanah itu masih berstatus wilayah adat yang dihibahkan Sultan ke-47 Iskandar M Djabir Sjah pada tahun 1959 kepada Jogugu Loloda.
Selanjutnya, pada 19 Oktober 1996 mendiang Sultan Ternate ke-48 Mudaffar Syah mengeluarkan surat keterangan hak atas tanah kepada Djasia Buka dan Sabur Buka seluas 1,5 hektare yang dibumbui tanda tangan maupun cap kesultanan.
Sehingga pihak Juharno diduga memanipulasi surat pembatalan kepemilikan dengan mengatasnamakan Sultan Mudaffar Syah, untuk menggugat warga di PN Ternate. Namun, bukti surat kuasa dari sultan merupakan dasar hukum sah yang masih menjadi pengangan warga.
Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis mengatakan, penggusuran rumah warga kalumata yang akan dilakukan Senin besok, sebaiknya ditunda PN Ternate karena sampai hari ini belum ada bukti lain yang menunjukkan tanah tersebut milik terlapor.
“Saya mendesak dan memohon kepada Kapolda Maluku Utara untuk mencegah eksekusi beberapa rumah di Kalumata, karena belum ada kepastian siapa yang berhak atas tanah itu. Justru penundaan penyelidikan terhadap terlapor, maka menimbulkan kecurigaan, mengapa ditunda,” jelasnya.
Margarito mengungkapkan, mestinya penyidik sudah tuntas melakukan penyelidikan, bukan malah menunda hanya karena terlapor tidak bisa membuktikan kepemilikan sah atas objek tanah yang disengketakan.
“Pendapat saya segera menunda eksekusi, dan PN Ternate lebih cermat lagi. Memang betul ada keputusan dari Mahkamah Agung tetapi kejanggalannya tidak melalui proses peradilan perdata namun melalui pidana. Tetap saja faktanya tidak cukup untuk dijadikan dasar menjalankan putusan,” ungkapnya.
Tinggalkan Balasan