Dengan demikian terjadilah pertempuran antara para pejuang Maluku melawan pasukan Belanda. Dalam perang itu pasukan Belanda dipimpin oleh Residen van den Berg. Sementara dari pihak para pejuang dipimpin oleh para tokoh lain seperti Christina Martha Tiahahu, Thomas Pattiwwail, dan Lucas Latumahina.

Para pejuang Maluku dengan sekuat tenaga mengepung Benteng Duurstede dan tidak begitu menghiraukan tembakan-tembakan meriam yang dimuntahkan oleh serdadu Belanda dari dalam benteng.

Sementara itu senjata para pejuang Maluku masih sederhana seperti pedang dan keris. Dalam waktu yang hampir bersamaan para pejuang Maluku satu persatu dapat memanjat dan masuk ke dalam benteng. Residen dapat dibunuh dan Benteng Duurstede dapat dikuasai oleh para pejuang Maluku.

Jatuhnya Benteng Duurstede telah menambah semangat juang para pemuda Maluku untuk terus berjuang melawan Belanda.

Belanda kemudian mendatangkan bantuan dari Ambon. Datanglah 300 prajurit yang dipimpin oleh Mayor Beetjes. Pasukan ini dikawal oleh dua kapal perang, yakni Kapal Nassau dan Evertsen. Namun bantuan ini dapat digagalkan oleh pasukan Pattimura, bahkan Mayor Beetjes terbunuh.

Kemenangan ini semakin menggelorakan perjuangan para pejuang di berbagai tempat seperti di Seram, Hitu, Haruku, dan Larike. Selanjutnya Pattimura memusatkan perhatian untuk menyerang Benteng Zeelandia di Pulau Haruku.

Melihat gelagat itu maka pasukan Belanda memperkuat pertahanan benteng di bawah komandannya Groot. Patroli juga terus diperketat. Pattimura gagal menembus Benteng Zeelandia. Upaya perundingan mulai ditawarkan, tetapi tidak ada kesepakatan.

Akhirnya Belanda mengerahkan semua kekuatannya, termasuk bantuan dari Batavia untuk merebut kembali Benteng Duurstede. Bulan Agustus 1817 Saparua diblokade, Benteng Duurstede dikepung disertai tembakan meriam yang bertubi-tubi.

Satu persatu perlawanan di luar benteng dapat dipatahkan. Daerah di kepulauan itu jatuh kembali ke tangan Belanda. Dalam kondisi yang demikian itu Pattimura memerintahkan pasukannya untuk meloloskan diri dan meninggalkan tempat pertahanannya.

Dengan demikian, Benteng Duurstede berhasil dikuasai Belanda kembali. Pattimura dan pengikutnya terus melawan dengan gerilya. Tetapi pada bulan November beberapa pembantu Pattimura tertangkap seperti Kapitan Paulus Tiahahu (ayah Christina Martha Tiahahu) yang kemudian dijatuhi hukuman mati.

Mendengar peristiwa ini Christina Martha Tiahahu marah dan segera pergi ke hutan untuk bergerilya. Belanda tidak akan puas sebelum dapat menangkap Pattimura. Bahkan, Belanda mengumumkan kepada siapa saja yang dapat menangkap Pattimura akan diberi hadiah 1.000 gulden.

Setelah enam bulan memimpin perlawanan, akhirnya Pattimura tertangkap. Pada tanggal 16 Desember 1817 Pattimura dihukum gantung di alun-alun Kota Ambon. Christina Martha Tiahahu yang berusaha melanjutkan perang gerilya akhirnya juga tertangkap.

Ia tidak dihukum mati tetapi bersama 39 orang lainnya dibuang ke Jawa sebagai pekerja rodi. Dikisahkan bahwa di dalam kapal Christina Martha Tiahahu mogok tidak mau makan dan tidak mau buka mulut.

Ia jatuh sakit dan akhirnya meninggal pada tanggal 2 Januari 1818. Jenazahnya dibuang ke laut antara Pulau Buru dan Pulau Tiga. Dengan demikian, berakhirlah perlawanan Pattimura.

***

——

Catatan: Tulisan ini disalin ulang dari buku berjudul “Sejarah Indonesia” dikhususkan SMA Kelas XI dan sederajatnya dari cetakan ke-2, 2017. Ditulis oleh Sudirman AM dkk.
Tim Radar
Editor