Radarmalut.com – Metode pengambilan data tentang angka kemiskinan di oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Utara menuai kritikan dari politisi Partai Nasional (NasDem). Pasalnya, tidak di lapangan seperti yang telah dirilis.

“Rasa-rasanya saya tidak temukan hal itu di Halmahera Tengah. Saya sampai saat ini berbeda pandangan dengan rumus yang digunakan BPS dalam menghitung angka kemiskinan. Riset yang dipakai sampel tapi dihitung totalitas penduduk,” kata , Senin (20/5/2024).

Rahim menjelaskan, BPS adalah lembaga negara yang bertugas untuk melakukan atau riset terhadap berbagai macam problem yang dihadapi. Seperti soal kemiskinan dan pertumbuhan maupun pengangguran.

“Kaitannya dengan kemiskinan kalau dilihat dari sisi presentase memang Halmahera Tengah masih berada pada kategori kemiskinan peringkat kedua setelah . Namun kalau dilihat dari kuantitas itu Halmahera Tengah masih kecil dibandingkan dengan kabupaten dan kota lain,” bebernya.

Menurutnya, jumlah setiap tahun penduduk Halmahera Tengah terus mengalami peningkatan, bahkan data terakhir kurang lebih ada 90 ribuan sekian. BPS lalu melakukan mengambil sampel tapi ketika menghitung presentasenya tidak menggunakan lagi jumlah.

“Tapi proyeksi pertumbuhan penduduk berdasarkan proyeksi mereka, apa itu? Kurang lebih 40 ribuan sekian orang saja. Itu yang saya bilang paradoks. Saya lihat dari konteks data BPS, bahwa kemiskinan itu banyak variabel misal dalam sehari tidak makan dua sampai tiga kali atau miskin karena apa,” bebernya.

Rahim menuturkan, harusnya hasil riset BPS tersebut disampaikan kepada setempat, sehingga datanya digunakan untuk aksi mengatasi kemiskinan dengan tepat sasaran.

“Lah ini paradoks, disatu sisi BPS melakukan riset lalu merilis angka kemiskinan tapi pada sisi lain tidak mengajukan hasil riset kepada pemerintah daerah,” ungkapnya.

Mantan Wakil Bupati Halmahera Tengah periode 2017-2022 ini mengatakan, terkait pendapatan dan pengeluaran ada rumus yang ditetapkan BPS. dikatakan bahwa pengeluaran masyarakat di Halmahera Tengah dalam satu bulan berkisar Rp 500 ribu.

“Jika pengeluarannya dibawah dari itu dikategorikan BPS sebagai orang miskin. Pertanyaannya apa memang ada demikian, artinya orang yang dimaksudkan tidak lagi bisa membeli sikat gigi dan kebutuhan lainnya,” paparnya.

Haerudin Muhammad
Editor
Radar Malut
Reporter