Radarmalut.com – Pembelahan dana bagi hasil (DBH) yang bersumber dari di Halmahera Selatan, Utara sepenuhnya belum maksimal. Pendapatan itu tidak dinikmati daerah penghasil sumber daya alam (SDA) karena pembagiannya diatur oleh pusat di .

Anggota Halmahera Selatan Rustam Ode Nuru menyebut, ketimpangan distribusi DBH dalam sektor pertambangan dari pemerintah pusat ke daerah masih belum adil dan perlu ditinjau kembali, sebab dampak dari aktivitas pertambangan tersebut dirasakan langsung masyarakat.

“DBH merupakan bagian dari pendapatan daerah yang bersumber dari penerimaan negara dan dibagikan sesuai regulasi. Namun, realisasinya masih menunjukan ketimpangan,” katanya kepada radarmalutcom, Jumat (14/2/2025).

Menurutnya, DBH diatur di Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Di dalamnya mengatur terkait pembagian, yakni 80% diberikan kepada daerah dan pemerintah pusat hanya 20%.

Lebih lanjut, Rustam berujar porsi 65% DBH dialokasikan untuk pemerintah provinsi, 16% kabupaten/kota penghasil dan sisanya daerah-daerah lain pada wilayah tersebut. Ia menilai skema yang dimaksud akan mencerminkan keadilan fiskal bagi daerah penghasil.

“Contohnya Halmahera Selatan pada 2023 menerima sekitar Rp329 dari DBH sektor pertambangan dan SDA lainnya. Kita punya potensi SDA yang besar, tapi penerimaan DBH tidak sebanding dengan dampak sosial dan yang ditanggung masyarakat,” ungkapnya.

Selain alokasi yang belum ideal, Rustam juga mengatakan perlu adanya transparansi dalam distribusi dan pemanfaatan DBH. Pemerintah daerah agar lebih aktif mengawasi penggunaan sehingga benar-benar dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur, , dan kesejahteraan.

“Pemerintah daerah harus cermat dalam mengelola DBH. Ini bukan sekadar angka dalam laporan keuangan, namun harus berdampak nyata bagi masyarakat. Regulasi lebih berpihak kepada pemerintah pusat, terutama usai terbitnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,” bebernya.

Rustam menjelaskan, kewenangan daerah dalam pengelolaan pertambangan semakin terbatas. Sementara itu, DBH yang diterima daerah penghasil dinilai tak sebanding dengan eksploitasi SDA dan dampaknya terhadap lingkungan maupun sosial masyarakat setempat.

Haerudin Muhammad
Editor
Radar Malut
Reporter