Radarmalut.com – Tindakan Polres Halmahera Utara tak menahan dua orang tersangka dalam kasus TPPO atau perdagangan manusia mendapat kecaman publik. Pasalnya, perkara yang sudah menahun itu para terdakwa masih bebas menghirup udara segar hanya karena dianggap tidak mempersulit penyidik.
Ketua LBH Ansor Ternate Zulfikran Bailussy menjelaskan, lambannya penanganan perkara Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Halmahera Utara. Pihaknya mendesak Polri untuk bersikap lebih tegas, khususnya terhadap dugaan keterlibatan oknum anggota DPRD Maluku Utara pada eksploitasi anak tersebut.
Zulfikran menyebut kasus mencuat sejak Oktober 2024 itu disinyalir memiliki keterkaitan dengan Aksandri Kitong, yang diketahui merupakan pemilik Kafe Number One, tempat di mana dua perempuan di bawah umur diduga dipekerjakan secara ilegal. Namun, ia hanya diperiksa sebagai saksi dan belum dijerat hukum lebih lanjut.
“Kalau pemilik tempat hiburan adalah pejabat publik, justru seharusnya lebih keras penindakannya. Ini soal keteladanan dan integritas lembaga negara. Jangan ada perlindungan diam-diam untuk pelaku,” katanya kepada radarmalut, Senin (7/7/2025).
Zulfikran mengatakan keprihatinannya atas fakta bahwa dua tersangka yakni manajer YL (45) dan karyawan FKG (17) tidak ditahan oleh penyidik Polres Halmahera Utara dengan dalih kooperatif. Padahal, keduanya dijerat pasal dengan ancaman pidana di atas lima tahun penjara.
“Kooperatif bukan berarti kebal hukum. Jangan sampai penegak hukum melemah hanya karena yang terlibat punya jabatan atau relasi kuasa. Korbannya anak-anak, ini bukan kriminal biasa tapi kejahatan kemanusiaan. Ketika seorang ibu bicara langsung ke publik, maka itu bentuk perlawanan. Hukum harus menjawab jeritan rakyat dengan keadilan,” cecarnya.
Sementara, Founder Jujaruh Maluku Utara, Hartati Balasteng mengungkapkan, sikap Polres tak memasukkan kedua tersangka ke dalam bui merupakan wajah buram kepolisian dalam penegakan hukum. Polisi mesti hadir selaku pengayom dan pelindung masyarakat tanpa ada sekat.
“Dengan tidak ditahannya kedua tersangka yang adalah dalang dari perdagangan anak dan kasusnya sudah satu tahun berjalan, menunjukan kurangnya keberpihakan kepolisian terhadap kedua korban yang masih anak-anak,” tandasnya.
Hartati mengemukakan, perdagangan anak sangat kompleks, terorganisir, dan menyisakan luka psikologis mendalam bagi para korban. Kasus-kasus ini sering dijumpai dan pelaku biasanya menjanjikan pekerjaan dengan gaji besar danĀ layak. Namun nyatanya justru dipaksa menjadi pekerja seks.
Lanjutnya, anak-anak harusnya mendapatkan pendidikan yang memadai, menikmati masa-masa remaja dengan mengeksploresi hal-hal yang produktif, tapi sebaliknya dijerumuskan ke dalam kegiatan yang dipenuhi trauma berat, dan menghancurkan masa depan.
