Tidak ada informasi detail tentang Konsorsium Advokasi Tambang atau KATAM. Saya coba memasukkan alamat website www.katam.org. Hasil pencariannya, nihil.

Padahal profil organisasi, sejarah, mandat, etika, visi-misi, jejaring, kontak, para pegiat, hingga konsorsium yang terlibat, penting untuk diketahui publik. Minimal apa yang melatari lembaga ini dibuat? Seperti apa sejarahnya?

Atau apa landasan etik yang mengatur kerja-kerja advokasinya? Bagaimana visi-misinya? Seberapa luas jejaringnya? Siapa saja para pegiat yang dapat dihubungi? Lembaga apa saja yang terlibat dalam konsorsium? Termasuk seperti apa logo lembaganya?

Semua itu tidak terlacak. Ketiadaan informasi membuat saya kesulitan membaca motivasi dari lembaga ini dibuat. Termasuk pola advokasinya. Apakah seperti Dirjen Gakkum Lingkungan di bawah KLHK, Inspektur Tambang di Bawah Kementerian ESDM, atau punya tujuan lain?

Artinya dari kejelasan itu publik bisa melihat seperti apa arah, target, dan strategi sebuah lembaga. Terutama kedudukannya di antara masyarakat dan industri pertambangan. Tapi sejauh yang saya lihat, lembaga yang dikoordinatori oleh Muhlis Ibrahim ini semacam panduan bagi perusahaan tambang.

Lewat mesin pencarian google, KATAM terpantau beberapa kali menyoroti beberapa perusahaan, meski lebih menyentuh pada persoalan teknis. Sesuatu yang identik dengan latar belakang Muhlis sebagai dosen pertambangan di Universitas Muhammadiyah Utara.

Namun tulisan ini tidak sedang mengutak-atik Muhlis Ibrahim secara personal. Tapi lebih memperdalam–kalau tak disebut mengobok-obok–KATAM dengan perusahaan tambang seperti Harita secara kelembagaan.

KATAM sendiri tercatat empat kali terlibat dalam persoalan yang berkaitan dengan Harita. Satu di antaranya adalah penyerahan award, yang ditulis oleh beberapa media sebagai “ajang bergengsi” bagi pelaku pertambangan.

Dalam forum silaturahmi pertambangan Maluku Utara bertemakan mining excellent yang dihelat di pada 10 Oktober 2023 itu, sebanyak 12 media massa dan 5 perusahaan tambang menyabet penghargaan dari KATAM. Salah satunya Harita. Belakangan, empat petinggi perusahaan itu diperiksa KPK dalam kasus korupsi almarhum Abdul Gani Kasuba.

Dari jejak digital, konektivitas KATAM dengan Harita terlihat pada November 2022. Kala itu, dugaan pencemaran di perairan akibat aktivitas pertambangan sempat ramai diwacanakan. KATAM sendiri ambil bagian dari diskursus itu. Dari sekian masukan, ada satu poin yang menarik bagi saya.

Dalam mengontrol aktivitas pertambangan, KATAM menyarankan ke Harita agar membentuk tim pengawas , dengan melibatkan para pegiat lingkungan dan media massa. Alasannya, agar fakta yang terjadi di lokasi dapat terungkap secara jernih ke publik.

Namun, saran itu berbanding terbalik ketika Jaringan Advokasi Tambang–NGO yang konsen pada isu-isu lingkungan, gender, dan masyarakat adat–menurunkan laporan bertajuk ‘Jejak Kejahatan Lingkungan dan Kemanusiaan Di Balik Gurita Bisnis Harita Group’ pada 24 Maret 2023.

Laporan itu merespons rencana Harita Group melalui usahanya, PT Trimegah Bangun Persada, untuk menambah modal melalui IPO saham dengan valuasi hingga Rp 15,1 triliun.

Alih-alih menguji laporan itu–yang notabenenya digarap oleh bersama pegiat lingkungan di lapangan–KATAM justru menuding laporan tersebut memiliki motif kepentingan bisnis. Sesuatu yang menurut saya seperti hidup dalam tempurung lalu menebak ayam dan telur, mana lebih dulu.

Saya justru penasaran, apakah motif dan konteks bantahan itu karena suasana kebatinan, nalar dan fakta? Atau atas dasar gudang tengah. Saya justru menilai ada upaya pengaburan substansi dari laporan itu. Sebab, akar masalahnya bisa diperdebatkan ketika orang-orang di balik laporan itu tak berada di lapangan.

Yang terakhir ketika warga di Kawasi menggelar aksi demonstrasi. Mereka menuntut pihak Harita merealisasikan janjinya terkait suplay listrik 1 x 24 jam, setelah tersebut dilanda gelap hampir dua pekan.

Aksi itu kemudian membuat KATAM bertandang ke Harita pada 19-21 April 2025. Dua hari di lingkungan perusahaan, KATAM menyimpulkan dua hal yang menjadi problem mendasar di kawasan lingkar tambang.

Pertama, infastruktur mengalami perubahan signifikan dibandingkan dengan kunjungan terakhirnya di 2022. Kedua, persoalan lingkungan dan sosial terlihat semakin baik.

Batu Sandungan

Bagi saya, kehadiran KATAM di tengah upaya warga mempertahankan ruang hidupnya dari industri ekstraktif, tidak bisa dipandang sederhana. Dia semacam batu sandungan bagi gerakan perlawanan warga. Mungkin tidak mudah melihat sesuatu di balik layar. Tapi setidaknya aroma dan sepak terjangnya bisa diendus.

Ketika pegiat lingkungan melakukan advokasi disusul laporan-laporan mendalam dari media seperti BBC News, THENATION, The Guardian, atau Tempo hingga Narasi TV–yang wartawannya sempat diinterogasi intel saat berada di Kawasi–KATAM justru memandang sebaliknya.

Tentu terlalu naif untuk mengatakan bahwa omon-omon mereka murni tanpa membawa kepentingan di belakangnya. Tampil dengan atribut ‘advokasi’ adalah alasan paling kuat untuk kita duga dan bertanya, ada kepentingan apa yang sedang berlangsung?

Corporate dan serangkaian laporan menjadi pintu masuk bagi kelompok-kelompok tertentu untuk memapankan kepentingannya. Sederhanannya, soal isi perut adalah urusan tawar-menawar. Dan omon-omon adalah instrumen mencapai tujuan itu.

Padahal, dalam kasus-kasus pertambangan selain ruang hidup yang terampas hingga akar sosial-budaya yang tercerabut, ada problem etik dan integritas yang seharusnya dijaga. Persoalannya, masih banyak yang tidak rela jika kehadiran perusahaan-perusahaan ekstraktif dibiarkan sia-sia.

Lembaga semacam ini seakan tidak terima kenyataan bila perusahaan ekstraktif yang membombardir Halmahera dipandang monster. Mereka seakan hidup dalam dunia khayal, bahwa suatu ketika alam yang luluh lantak itu akan berubah menjadi sebuah kota modern yang menjanjikan.

Rasa-rasanya mereka ini lebih berguna jika dibiayai perusahaan ekstraktif saja. Atau, paling tidak sebagai modal bagi mereka untuk menduduki jabatan basah di perusahaan.

Narasinya adalah industri pertambangan perlu didukung–meski alam binasa. Sebab jika tak ada investasi, maka akan berpengaruh signifikan terhadap perekonomian daerah, bahkan bisa memicu krisis Nasional.

Itulah kenapa, pernyataan yang keluar dari lembaga seperti ini menjadi bahan uji paling kuat untuk yang nalarnya masih sehat menilai; siapa yang omon-omon? Siapa yang nego? Siapa untung? Siapa buntung?

Melakukan liputan atau riset tentang tambang itu pekerjaan mahal dan melelahkan. Butuh modal besar, mental baja, skill menulis-menyusun laporan, peka terhadap situasi sekitar, punya wawasan, serta memiliki jejaring yang luas. Kalau tidak punya semua itu, sebaiknya duduk diam untuk tidak memperkeruh keadaan.

Selama terlibat dalam liputan dampak pertambangan nikel di Halmahera, saya bertemu banyak komunitas warga yang peduli dengan nasib ruang hidupnya. Mereka umumnya orang-orang tidak berdaya. Suaranya nyaris tenggelam dalam deru mesin industri.

Banjir, kesulitan memperoleh air bersih, sungai keruh, polusi udara yang mempengaruhi kualitas kesehatan, lahan perkebunan dicaplok-digusur, ruang tangkap nelayan disesaki kapal-kapal pengangkut ore nikel hingga bikin ikan-ikan menjauh.

Banyak dari mereka yang diintimidasi hingga dikriminalisasi hanya karena mempertahankan tanahnya. Maka bukan sesuatu yang mustahil jika di masa mendatang, perjuangan mereka akan memperoleh tantangan besar ketika perusahaan yang memindahkan orang sekampung dicap ‘makin baik.’

Kita mesti skeptis melihat orientasi lembaga semacam itu. Jika pengelolaan lingkungan Harita makin baik, mengapa ada rencana relokasi warga ke Ecovillage? Jika Harita adalah perusahaan yang sangat terbuka, mengapa perlu dijaga aparat bersenjata? Mengapa para jurnalis perlu diinteli?

KATAM memang kerap ‘pasang badan’ melakukan pembelaan terhadap hal-hal yang dianggap menganggu kepentingan Harita. Mungkin saja tidak cukup dengan menggandeng aparat keamanan sebagai tameng, atau meminta lembaga berskala internasional seperti IRMA untuk mendapatkan predikat excellent.

Tapi dibutuhkan juga satu lembaga atas nama ‘yang penting advokasi’, agar ada kesan etik di situ. Ini adalah gambaran bagaimana kolaborasi bisnis dibentuk. Semua ini menuntun kita pada satu pertanyaan: Advokasi KATAM Mandat Siapa?

Sebagai penutup dari tulisan ini, saya mau bilang bahwa hidup di daerah yang kaya akan sumber daya alam ini, semangat advokasi harus tetap jalan. Kritik-kritik tajam harus menghujam ke jantung persoalan. Koreksi terhadap dampak lingkungan patut digaungkan. Kita harus menjadi pembeda di antara orang-orang dengan standar ganda.

Sebab, kesenjangan antara kaya dan miskin yang hidup dalam mainan oligarki tambang masih nyata. Bagaimana pun juga, nasib para nelayan, , harus tetap disuarakan dan diperjuangkan. Derajat mereka harus diangkat sebagai orang-orang yang terusik dan terusir.

***

 

Penulis merupakan seorang jurnalis dan pegiat lingkungan