Radarmalut.comĀ – Warga tiga kelurahan di Kota Ternate kembali diberikan deadline oleh Polda MalukuUtara untuk meninggalkan atau merobohkan rumah yang mereka tempati selama puluhan tahun itu. Lembaga vertikal ini mengklaim tanah seluas 45.735 meter persegi adalah milik Polri.

Kepolisian Daerah yang dipimpin Irjen Pol Waris Agono sudah tiga kali melayangkan somasi kepada warga di Kelurahan Ubo-Ubo, Kayu Merah dan Bastiong Karance. Namun, diduga di balik dari ambisi pengusiran ada praktik kepentingan pihak lain untuk mengusai lahan tersebut.

Ketua LBH Ansor Ternate, Zulfikran Bailussy mengecam upaya somasi dari Polda Maluku Utara kepada masyarakat yang memerintahkan agar mengosongkan rumah karena milik Polri atau bekas Markas Brimob dan juga ancaman gugatan hukum jika tidak diindahkan dalam waktu 60 hari ke depan.

Lanjutnya, tindakan Polda dinilai sebagai bentuk pengabaian terhadap prinsip due process of law dan keadilan substantif, sekaligus mencederai semangat perlindungan hak-hak warga negara atas tanah yang dikuasai secara turun-temurun.

“Jangan hanya kirim surat ancaman pengosongan. Tunjukkan secara terbuka apa dasar yuridis atau alas hak kepemilikan lahan. Apakah benar tanah ini dikuasai berdasarkan prosedur hukum yang sah dan adil?” ujarnya kepada radarmalut, Selasa (15/7/2025).

Zulfikran menantang Polda tak hanya mengklaim bahwa lahan itu bersertifikat milik Polri dari bekas Markas Brimob, tapi membuka secara publik dokumen-dokumen kepemilikan sah sehingga persoalannya tidak subjektif dan tentu menciptakan masalah baru di tengah masyarakat.

“Kalau ada coba tunjukkan nomor sertifikat, tahun terbitnya, dasar penerbitannya, apakah telah melalui konsultasi dengan Pemerintah Kota Ternate dan juga terdapat peralihan hak, ganti rugi, atau pemberitahuan kepada warga saat sertifikat diterbitkan,” bebernya.

“Masyarakat berhak tahu sejak kapan lahan yang mereka tinggali puluhan tahun berubah status menjadi milik institusi negara. Apakah mereka diberi tahu? Apakah pernah ada proses perundingan atau ganti rugi? Ini yang harus dijelaskan secara adil,” sambungnya.

Zulfikran menyebut diterbitkannya somasi justru menimbulkan paradoks kebijakan institusi. Sebab, pembangunan Markas baru Polda Maluku Utara berada di Sofifi namun munculnya upaya ini tujuannya apa, dengan kesan mendesak warga meninggalkan rumah.

“Logikanya, jika Polda benar-benar serius memindahkan markas ke Sofifi, mengapa masih sibuk menggugat rakyat di Ternate? Ini menimbulkan kecurigaan penguasaan lahan ini bukan untuk kepentingan negara, tetapi untuk proyek atau kepentingan tertentu yang belum diungkap ke publik,” paparnya.

Polda diminta menghentikan seluruh proses somasi dan rencana gugatan sampai proses klarifikasi alas hak dilakukan secara transparan serta melakukan musyawarah terbuka bersama masyarakat-Pemkot Ternate maupun meninjau kembali kebijakan pengamanan aset negara.

“Terlalu sering kita melihat pendekatan hukum dilakukan tanpa nurani. Hukum digunakan bukan melindungi rakyat, tapi menekan mereka. Ini yang coba kami koreksi secara konstitusional,” imbuhnya.

***

Haerudin Muhammad
Editor