Pertanyaan dalam teori politik hanya satu: bagaimanakah realitas kekuasaan dipahami?
Celakanya, tak banyak teoritisi politik yang mampu menjawab pertanyaan ini. Setidaknya, realitas kekuasaan kebanyakan dilihat sebagai sebuah fenomena dan bukan sebagai sebuah substansi.
Buku yang judul aslinya Gramsci’s Political Thought ini menawarkan sebuah perspektif baru dalam politik. Antonio Gramsci (1891-1937), tokoh marxis Italia, adalah seorang “tukang bongkar” teori yang cukup piawai.
Inti gagasan politiknya adalah hegemoni. Susungguhnya Gramsci bukan seorang akademisi, walaupun ia pernah menjadi mahasiswa cerdas di Universitas Turin. Hidupnya dihabiskan sebagai aktivis Partai Komunis Italia (PCI), sampai ajalnya tiba di penjara fasis Mussolini.
Namun, refleksinya tentang kekuasaan, dan bagaimana cara kekuasaan politik bekerja, telah menjadi panduan teoritis baru, bahkan bagi ilmu marxisme.
Menurut Gramsci, konsensus adalah hal yang pokok dalam kekuasaan. Penguasa yang baik, menurut dia, adalah mereka yang memenangkan hegemoni yang mendapatkan persetujuan spontan dari kelas yang dikuasai tanpa harus menggunakan pendekatan kekerasan.
Karena itu, dibutuhkan sebuah kepemimpinan politik dan ideologis jika sebuah kelas ingin berkuasa dengan hegemoni penuh. Memang kepatuhan bisa didapat dengan jalan lain, yaitu jika penguasa menggunakan senjata (aparatus koersif). Tapi, bagi Gramsci, itu bukanlah sebuah hegemoni, melainkan dominasi.
Dalam khasanah marxisme, Gramsci memberikan kontribusi teoritis baru dengan konsep hegemoni itu. Walaupun ia seorang pendukung Lenin–pernah belajar di Rusia sebagai utusan Comintern–tak sepenuhnya ia mengadopsi pandangan arsitek revolusi Rusia itu.
Lenin menganggap hegemoni merupakan strategi untuk revolusi yang harus dijalankan oleh kelas pekerja untuk memperoleh dukungan mayoritas. Gramsci menambahkan dimensi baru, dengan memperluas hegemoni menjadi sebuah konsep, tak semata strategi.
Gramsci mengakui, dalam Two Tactics of Social Democracy, Lenin memberikan sumbangan besar tentang teori dan praktek hegemoni. Bagi Leninisme, negara dalah jantung atau simpul kekuasaan yang dilindungi alat kekerasan.
Bagi Gramsci, negara tak semata dilindungi oleh aparatur kekerasan, tapi juga oleh alat-alat ideologi untuk mempertahankan dirinya. Celakanya, kekuasaan justru menyebar merata melalui jalur ideologis ke masyarakat sipil.
Hegemoni, menurut Gramsci, melibatkan banyak aspek seperti kekuatan kelas dan hubungan produksi. Dengan kata lain, hegemoni adalah hubungan antara kelas dan kekuatan sosial lain.
Kelas hegemonik adalah kelas sosial yang mendapatkan persetujuan dari kekuatan atau kelas sosial lain dengan cara aliansi melalui perjuangan politik dan ideologis. Karena itu, sebuah kelas sosial harus mentransendir kepentingan semua golongan jika hendak memenangkan hegemoni.
Bagaimana krisis seperti itu bisa terjadi? Dalam Selections from Prison Notebooks (1976), Gramsci menyebut penyebabnya adalah tindakan tak populer dari negara, atau bisa juga karena aktivitas politik massa yang sebelumnya pasif kembali marak.
Krisis ini, dalam sejumlah kasus, dikenal juga sebagai “krisis otoritas” atau krisis hegemoni. “Yang tua sedang sekarat, sementara yang baru belum lagi selesai tumbuh,” tulis Gramsci.
Penulis buku ini, Roger Simon, membentangkan pemikiran Gramsci lewat cara yang cukup ensiklopedik. Gagasan-gagasan Gramsci seperti Hegemoni, Hubungan Kekuasaan, Revolusi Pasif, Perang Posisi dan Perang Siasat, serta Peran Intelektual diulas secara deskriptif.
Sayangnya, gaya ensiklopedik seperti itu, kalau kurang cermat dapat membuat pembaca memahami Gramsci secara parsial. Sayangnya lagi, buku ini tak merangkum perdebatan dan gagasan yang lebih filosofis sifatnya.
Tampaknya, buku ini sengaja dibuat sebagai pengantar ke pemikiran Gramsci. Beberapa episode historis kehidupan Gramsci yang sarat dengan dinamika teori dan praktek ketika ia menjadi aktivis sosialis.
Seperti yang pernah ditulis oleh John M. Cammet dalam Antonio Gramsci and the Origins of Italian Communisme (1967), agaknya luput dari pandangan Roger Simon.
Kalaupun ada nilai tambah bagi buku ringkas ini, itu adalah epilog yang ditulis oleh Stuart Hall. Lewat artikelnya yang berjudul Gramsci dan Amerika, mahaguru Universitas Birmingham, Inggris, itu.
Memberikan kontekstualisasi yang cukup menarik dari gagasan politik Gramsci. Setidaknya, ia mengingatkan kita akan kondisi politik Indonesia, di mana “yang tua sedang sekarat, sementara yang muda belum lagi lahir….”
Penulis: Nezar Patria
Catatan: tulisan ini merupakan hasil resensi penulis atas buku Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, karya Roger Simon, yang diterbitkan oleh Insist Press dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Oktober 1999. Pengantar buku tersebut, yakni Mansour Fakih. Tulisan ini dimuat pertama kali di TEMPO, No. 05/XXIX/3 – 9 April 2000 dan disalin ulang oleh Herry Anggoro Djatmiko.
***
Tinggalkan Balasan