Che Guevara adalah legenda dunia. Oleh banyak orang, terutama kalangan muda, Che Guevara dikagumi mendekati sosok yang legendaris, atau bahkan seperti sebuah mitos. Ia diakui sebagai seorang yang revolusioner, dikagumi sebagai seorang yang humanistis, dan dipandang sebagai seorang yang romantis.
Namun, siapakah dia? Di mana seyogianya kita meletakkan Che di dalam pigura pemikiran dan aksi-aksi politik? Apakah dia seorang komunis atau humanis? Bagaimana hubungannya dengan Fidel Castro, dan bagaimana peran Che dalam Revolusi Kuba?
Buku yang merupakan kumpulan tulisan Che dalam berbagai kesempatan ini tampaknya bisa memberikan infromasi mengenai sosok dirinya. Bisa dikatakan, sebagaimana tertuang dalam tulisan-tulisan yang ada, ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk perjuangan revolusi rakyat di berbagai belahan dunia.
Dia menjelajahi Vietnam, Kongo, Aljazair, dan beberapa negara di Amerika Latin. Ia juga melanglang buana ke negara-negara Eropa Timur dan beberapa konferensi regional dan internasional, seolah ia merasa bertanggung jawab atas semua ketidakadilan yang terjadi di dunia. Apakah Che seorang komunis atau hanya seorang Marxis?
Tampaknya buku berjudul Che Guevara : Revolusi Rakyat tak menyajikan jawaban “hitam-putih”. Memang benar, banyak jargon atau analisis politinya yang sangat berbau Marxis, dan juga rasa respeknya kepada kalangan komunis terlihat nyata.
Meskipun demikian, hobi dan disiplinnya dalam membaca buku dan berdiskusi–di tengah-tengah serangan asma yang parah–menjadikan dirinya sebagai seorang yang kritis. Sebagaimana dicatat dalam sejarah, ia pun banyak berdebat dan bahkan berseberangan dengan kalangan komunis dari berbagai golongan, partai, dan negara.
Bahkan, konon salah sebab berpisahnya dengan Fidel Castro adalah rasa tidak sukanya atau terlalu dekatnya Castro dan Kuba dengan Soviet. Bagi Che, ini tidak lebih dari hubungan pusat-satelit, sebagaimana AS dengan sekutu-sekutunya.
Ia pun sangat yakin dengan otonomi manusia sebagai suatu entitas dengan kemampuan yang luar biasa, dan tidak sekadar sebagai “boneka” yang ditentukan oleh realitas yang ada sebagaimana sering diyakini kalangan komunis.
Hubungan sosial tidak selalu mekanis, dan ini yang menyebabkan manusia harus kreatif dalam mencari terobosan-terobosan untuk mengatasi berbagai persoalan kehidupan.
Sementara itu, bagi Che ekonomi sosialis dalam dirinya sendiri tidak menghargai usaha, pengorbanan, dan berbagai risiko perang dan penghancuran jika pada akhirnya ia mendorong semangat ketamakan dan ambisi indvidual dengan mengorbankan kepentingan kolektif.
Kelihatannya ia tidak tertarik untuk mendirikan negara ala Leninis, yang menurut dia sarat dengan penyalahagunaan kekuasaan. Che sangat antibirokrasi yang berlebihan. Sebaliknya, ia lebih tertarik ikut membangun kekuatan masyarakat, yang ia sebut sebagai manusia-manusia sosialis baru.
Banyak juga yang tidak tahu bahwa Che, selain diangkat sebagai warga kehormatan Kuba karena jasanya dalam Revolusi Kuba (1959-1961), tidak hanya melulu berkutat dengan soal-soal politik, khususnya perjuangan revolusi dan perombakan masyarakat.
Ia pernah menjadi Ketua Departemen Perindustrian di bawah Lembaga Reformasi Agraria Nasional (TNRA). Ia pun pernah mengambil alih bank nasional dan bahkan pernah ditunjuk sebagai Menteri Perindustrian.
Che banyak menghabiskan waktu sebagaimana layaknya menteri yang melakukan kesepakatan-kesepakatan bisnis dengan berbagai pihak, sambil selalu meyakinkan para pekerja untuk melakukan kewajiban dan kepuasan pribadi dalam pigura kepentingan bersama.
Buku ini memang hanya mengungkap sekelumit sisi sosok Che, baik sebagai pemikir maupun aktivis politik. Apalagi, ini merupakan kumpulan tulisan Che sendiri, yang bisa jadi sangat subyektif meskipun ia pun berupaya untuk jujur dalam mengungkapkan perjalanan politik hidupnya, yang tidak selalu penuh heroisme dan kemenangan.
Sebut saja, misalnya, pertempuran di Algria del Pio, tempat ia dan Fidel kehilangan anak buahnya. Ia tidak menutupi ketidaksabarannya melihat proses transformasi yang sangat lambat di Bolivia, tempat akhirnya ia tertangkap dan dibunuh.
Karena nama Che selalu masih terangkat dalam berbagai kesempatan sampai saat ini, tak berlebihan jika ia diletakkan pada posisi yang sejajar dengan para pemimpin negara-negara berkembang seperti Nehru, Sukarno, ataupun Nasser.
Penulis : Nur Iman Subono
Resensi dari buku Che Guevara: Revolusi Rakyat
Editor: John Gerassi
Penerbit: Teplok Press, Jakarta, 2000.
Catatan: tulisan ini pernah dimuat di TEMPO, NO 11/XXIX/ pada tanggal 21 Mei 2000 dan disalin ulang oleh Herry Anggoro Djatmiko
***
Tinggalkan Balasan