Isu kerusakan lingkungan hidup di Maluku Utara hampir belum menjadi perhatian luas oleh berbagai kalangan, termasuk elemen gerakan. Dari sekian lapor maupun riset akademik yang disuguhkan di berbagai platform, nyatanya tak memunculkan reaksi apa-apa, alih-alih tersinggung.
Kalau tak disebut pasif, ya lebih pada kecaman atau sekadar imbauan. Tak lebih. Justru lebih banyak mengakumulasikan ide di forum-forum diskusi atau sekadar cerita di warung kopi. Sementara, reaksi dan aksi hanya terpusat pada titik-titik wilayah krisis dengan metode perlawanan yang beragam.
Di Halmahera Timur, hampir sebagian besar masyarakat–termasuk para pekerja tambang–menolak kehadiran perusahaan PT Priven Lestari yang bakal melakukan aktivitas penambangan seluas 4.953 hektare di kawasan Pegunungan Wato-wato. Aksi demonstrasi itu kemudian berlanjut pada beberapa kegiatan atau pentas seni yang disisipkan sikap penolakan.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin daerah yang mengoleksi 24 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan mayoritas warganya bekerja di perusahaan tambang, justru menolak kehadiran tambang? Apakah ada motif lain di balik itu. Semua pertanyaan-pertanyaan ini kemudian menjadi masuk akal ketika kita mengetahui lebih jauh situasi dan kondisi Halmahera Timur hari ini.
Sebagai gambaran, dari Pegunungan Wato-wato, mengalir 9 sungai yang punya peran vital bagi 13.195 jiwa dari 10 desa di Kecamatan Maba yang luas wilayahnya hanya 385,55 kilometer persegi. Sungai-sungai itu bahkan mengalir hingga ke wilayah Subaim, sebuah wilayah transmigrasi di Kecamatan Wasile yang juga terjepit perusahaan tambang nikel PT Alam Raya Abadi dengan luas konsesi 924 hektare dan PT Indo Bumi Nickel seluas 2,117 hektare.
Pada sisi utara Kecamatan Maba terdapat PT Sambaki Tambang Sentosa dengan luas konsesi 4.480 hektare. Sementara, hampir sebagian besar kawasan di sekitar Maba dicaplok PT Antam dengan luas konsesi 39.040 hektare.
Perlawanan serupa juga ditemukan di Desa Sagea, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah. Begitu air Sungai Sagea yang selama ini dimanfaatkan oleh warga berubah warna, masyarakat langsung menggeruduk PT IWIP–perusahaan pengolahan nikel–yang terintegrasi dengan PT WBN sebagai penambangnya. Konsistensi perlawanan hingga merancang pengetahuan tandingan lewat sekolah relawan kampung yang digagas oleh sekelompok anak muda Sagea, pun berlanjut sampai hari ini.
Lalu apakah kesadaran ekologis hanya muncul di wilayah-wilayah krisis? Apakah daratan Pulau Halmahera memang sudah ditakdirkan sebagai “wilayah pengorbanan” yang harus dimaklumi sebagai niat baik negara dalam menumbuhkan ekonomi masyarakat?
Saya setuju kalau kita perlu menyusun sebuah langkah dan strategi yang matang agar apa yang didorong dan disuarakan benar-benar efektif. Tapi sampai kapan dan berapa lama? Sebab, kondisi lingkungan di Pulau Halmahera hari ini, kita sudah tidak lagi berbicara tentang persoalan dampak. Karena semua sudah terjadi.
Mungkin pertanyaan seperti ini terlalu subjektif atau bahkan memberi kesan tak adil. Karena konsep yang diusung setiap elemen berbeda. Gaya advokasi jurnalis atau periset lewat suguhan laporan-laporan lapangan, berbeda dengan elemen gerakan yang lebih solid bersuara lantang di jalanan.
Tapi sebenarnya dari sinilah kunci perlawanan itu. Kita harus memahami bahwa data-data lapangan dapat diterjemahkan dalam membangun sebuah gerakan. Poinnya kolaborasi. Kita tidak bisa membangun gerakan tunggal dalam merespons sebuah peristiwa, apalagi persoalan lingkungan yang begitu kompleks.
Jalur Politik yang Sia-sia
Kita juga perlu memahami, bahwa ketika sumber daya alam dikuasai dan dikontrol oleh negara, itu berarti isu-isu lingkungan juga (seharusnya) masuk dalam wilayah politik. Berkata George Junus Aditjondro (2003: 158), membicarakan persoalan lingkungan bukanlah sekadar persoalan teknis. Sebab akan berkembang sebagai sebuah isu politik karena hasil interaksi antara ilmu pengetahuan, teknis, psikologi, dan kondisi ekonomi masyarakat.
Sayangnya, perdebatan dan perjuangan politik tentang lingkungan dapat dipandang sebagai sebuah masalah atau tidak sangat bergantung pada bentuk-bentuk interaksi antara kekuatan politik dengan momen historis tertentu, yang terjadi dalam suatu masyarakat. Sementara, dalam konteks Maluku Utara hari ini, rata-rata masih bersifat wacana.
Sekalipun persoalan lingkungan sesekali dilontarkan kemudian menjadi isu publik, tetapi itu baru sebatas instrumen demi mencari simpati pemilih. Kalaupun benar-benar diangkat sebagai isu politik, mainnya lebih pada urusan teknis dengan memilih jalur perjuangan yang relatif aman.
Tidak banyak para figur atau partai politik yang mengusung isu lingkungan sebagai tujuan perjuangan. Isu lingkungan dipandang sebagai dagangan yang tak laku dalam merebut suara konstituen. Kita bisa melihat, betapa banyaknya partai politik di level daerah hingga nasional yang masih bersikap pragmatis. Negosiasinya tidak ada yang ideologis.
Artinya, kita tidak bisa berharap banyak dari orang-orang yang kita dorong di ruang-ruang parlemen. Saya tidak bermaksud mengajak kita semua untuk sama-sama bersikap pragmatis. Sebab, sistem politik kita menghendaki pengambilan keputusan dilakukan oleh fraksi, bukan one person one veto.
Sementara, proses legislasi kita ikut tersandera oleh praktik-praktik oligarki. Bahkan agar mempermudah itu, negara lebih dulu membuat sebuah perisai bernama Proyek Strategis Nasional (PSN). Tidak peduli tanah itu berstatus apa. Sepanjang atas nama PSN, semua bisa dilakukan.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa berharap pada figur atau partai-partai politik menjadi inisiator perjuangan lingkungan adalah sesuatu yang sia-sia. Itu berarti, gerakan lingkungan hanya dapat dimanfaatkan lewat kekuatan-kekuatan potensial yang tumbuh dari komunitas masyarakat. Masalahnya, kelompok ini sangat mudah disusupi kepentingan lain, terlebih kita di Indonesia yang elemen politik elitenya cenderung dengan logika perut dan dagang.
Sebuah Ideologis
Fakta hari ini, menyalahkan orang-orang yang dikorbankan dapat dipandang sebagai sebuah proses ideologis. Setidaknya, itu yang sedang berlangsung di daratan Pulau Halmahera. Ini kemudian mengakibatkan efek-efek psikologis atas pemiskinan yang telah melekat kuat dalam benak pikiran masyarakat.
Pendekatan ini tidak mempertimbangkan tentang keadilan dalam aspek distribusi keuntungan yang paling fundamental. Kelompok-kelompok yang berkepentingan telah mencari legitimasi tekanan dan kesengsaraan manusia yang diakibatkan oleh ketidakadilan ekstrem melalui penjelasan rasional dan ilmiah. Dengan kata lain, upaya tersebut telah mempertahankan status ketidakadilan dan oleh karena itu mengakibatkan tertundanya perubahan.
Terutama kemiskinan, dipandang sebagai sebuah status ekonomi yang secara etimologi berhubungan dengan akses. Dari sini, dibuatlah konsep dan strategi dalam menanggulangi kemiskinan melalui transfer sumber daya yang hanya dapat dicapai melalui kata “industrialisasi dan hilirisasi.”
Kita semua tahu, bahwa model pembangunan hari ini hanya diukur berdasarkan pendapatan perkapita (Baca: ekonomi Maluku Utara meningkat). Sementara, yang tidak ada dalam definisi ini adalah pembangunan secara mental, sosial, budaya, dan spiritual dari individu maupun kelompok dalam sebuah keadaan yang bebas dari tekanan dan paksaan.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa secara teori, pembangunan dalam bentuk apa pun nyaris tidak ada perubahan. Justru pola pendekatan, mekanisme, dan sistem ekonomi yang dibangun lebih berwatak eksploitatif. Secara politik bersifat represif dan dalam aspek budaya lebih terkesan hegemonik.
Dengan demikian, istilah globalisasi sesungguhnya tidak punya kaitan dengan kesejahteraan rakyat maupun keadilan sosial di negara-negara berkembang. Tapi didorong motif kepentingan pertumbuhan dan akumulasi kapital berskala global.
Meskipun globalisasi dikampanyekan sebagai era yang menjanjikan pertumbuhan dan kemakmuran ekonomi secara global, tapi globalisasi sesungguhnya adalah kelanjutan dari kolonialisme. Dan kitalah–orang-orang Maluku Utara yang dikenal dengan sejarah heroik para sultannya–paling siap untuk dijajah.
Penulis : Nurkholis Lamaau (Jurnalis dan Pegiat Lingkungan)
***
Tinggalkan Balasan